Rabu, 25 September 2013

MEMBANGUN KOMUNIKASI DGN ORANGTUA

Bagaimana Membangun Komunikasi dengan Orangtua yang Keras?
Foto
 
Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School 
Pembicara Parenting Internasional di 4 negara
dan Pembicara Nasional Parenting di 20 Propinsi, lebih dari 70 Kota di Indonesia
 
Seorang teman curhat begini pada saya: "Abah, Apakah anak yang selalu di kecewakan oleh orang tuanya. Bisa mengalami trauma berkepanjangan, (mohon maaf) termasuk ketika hendak memutuskan memilih pasangan hidupnya ketika sudah waktunya tiba? Cenderung ragu, dan tidak akan memilih pendamping hidup yang sama sukunya dengan orang tuanya. Semua di anggapnya sama? 
 
Jika anak sulit berkomunikasi dengan org tuanya, terutama ayah, bagaimana untuk membangun komunikasi itu kembali. Si anak gencar memperbaiki…si ayah acuh tak peduli. Tentu saja hal ini membuat sang anak patah semangat dan akhirnya membiarkan ini semua dan ikut pasrah. Kasarnya: *mau di apain lagi, emang udah begini..yaa sudahlah.
 
Sang anak takut jadi anak durhaka, tp sungguh ini memang nyata. Ia punya ayah tapi terasa tiada,,hampa baginya. Hanya dalam doa dan air matanya ia selalu hadirkan ayahnya lewat doa. Dan ia sangat hormati ayahnya dan tak ada niat untuk membenci atau dendam terhadap ayahnya.(Tentu tak enak hidup seperti ini yaa abah)." 
 
Teman, insya Allah semua manusia bisa berubah, mudah-mudahan perubahan itu ke arah yang lebih baik tentunnya. Maka, bukan tak mungkin Allah merubah seorang ayah kita yang kita anggap keras dan berpengari buruk untuk menjadi lebih baik. 
 
Bagaimana agar ayah bisa berubah? Jangan berhenti berikhtiar untuk merubahnya. Tapi, jangan pernah berpikir merubah ayah jika kita belum bisa menyambungkan komunikasi yang nyaman dulu dengan ayah. Fokusnya adalah bukan bagaimana seharusnya ayah berkomunikasi dengan kita, tapi bagaimana kita seharusnya berkomunikasi dengan kita. 
 
Jadi, sebelum merubah ayah, PR pertama adalah bagaimana agar ayah mau nyaman diajak komunikasi dengan kita. 
 
Mari kita lihat contoh Rasulullah saw. Mengapa perkataan Rasulullah begitu dipercaya? Meski mungkin tak dilaksanakan oleh masyarakat Makkah waktu pertama kali menyebarkan Islam, tak bisa dipungkiri Rasulullah sangat bisa dipercaya. Ingat, peristiwa pemindahan batu hajar aswad? Mengapa para tetua dan tokoh masyarakat Mekkah mempercayakan pada pemudah kemarin sore bernama Muhammad (saw)? 
 
Karena kejujuran beliau? Tentu saja ini tak bisa disangsikan dan ini menjadi syarat pertama. Tapi setelah itu, apakah kejujuran saja cukup untuk membuat perkataan kita didengarkan oleh orang lain? Tidak bukan? Tak sedikit orang jujur, tersingkir, idenya tak didengarkan, tak diikuti, dan lain-lain. Lalu apa lagi? 
 
Syarat kedua agar 'pesan' kita pada orang-orang di dekat kita dan di masyarakat sekitar kita didengarkan adalah: jadilah orang yang bermanfaat untuk orang-orang di dekat kita dan di masyarakat sekitar kita. Rasulullah pernah berkata "khairanna anfauhum linnas", sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain. 
 
Perkataan kita akan benar-benar didengarkan, diikuti oleh misalnya teman kita jika kita telah banyak memberikan manfaat untuk teman kita tersebut. 
 
Demikian juga untuk keluarga kita, untuk ayah kita. Sesungguhnya perkataan-perktaaan kita akan didengarkan oleh orangtua kita jika kita juga telah menjadi anak bermanfaat untuk orangtua kita. Pertanyaannya, apakah selama ini kita sudah menjadi anak yang bemanfaat untuk orangtua kita? 
 
Berapa banyak kita membantu mereka saat mereka dalam kesulitan-kesulitan? Apakah kita sering mengikhlaskan sebagian gaji kita untuk menyenangkan orangtua kita atau untuk demi kepentingan kita sendiri saja dengan alasan banyak kebutuhan (yang tak pernah selesai itu?)
 
Ilustrasikan begini, ada dua orang anak A dan B yang sudah dewasa. Katakanlah usianya masing-masing 30 tahun. Masing-masing A dan B masih memiliki seorang ayah yang kira-kira usianya 55 tahun. Kedua-dua orangtuanya misalnya sama-sama memiliki sifat keras, kolot, nggak peduli sama keluarga, dan sifat-sifat buruk lainnya. A dan B inign merubah ayahnya ini. A dan B sama-sama sudah menikah, punya keluarga dan punya anak. Masing-masing sudah punya penghasilan yang cukup, meski tidak disebut kaya raya. 
 
A hampir setiap pekan berkunjung ke rumah orangtuanya. Maksud hati silaturahmi dan menjaga hubungan baik dengna orangtua. Memantau orangtuanya yang sudah mulai tua. Tapi, saat mendatangi orangtuannya, seringnya berujung pada perdebatan dan percekcokan antara orangtua-anak. 
 
Apa yang membuat mereka cek-cok? A sering 'ngasih tahu' ayahnya agar ayahnya bisa lebih bertanggung jawab. Sementara ayah merasa sudah makan asam garam dalam kehidupan dan perlu lagi ceramah dari anaknya. 
 
Sedangkan B, sama dengan A hampir setiap berkunjung kerumah orangtuanya. Bedanya saat berkunjung kerumah orangtuanya B tidak membahas masalah perilaku ayahnya, tetapi terus berusaha memebrikan kebaikan untuk ayahnya terlebih dahulu. menenaykana kondisi kesehatan ayahnya dianggapnya adalah kewajiban. Saat B melihat ayahnya batuk sedikit, B dengan serta merta mengajak ayahnya periksa ke dokter. Meski ayahnya kadang menolak. SAat ayahnya tidur, B sering kali memijit orangtuanya yang sudah tua ini. 
 
Sama seperti A, B tidak terlalu suka ayahnya yang masih punya sikap keras seperti itu. Tapi asat tidur B sering melihat gurat wajah ayahnya yang mulai keriput. Ia menyadari bahwa suatu saat ayahnya akan pergi meninggalkan dunia ini. Ia ingin terus berbuat baik dengan ayahnya di sisa waktu usianya ini. Biarlah itu ladang amal untuknya, soal dosa ayahnya yang tak peduli keluarga itu urusan ayahnya. 
 
Tanpa diketahui ayahnya, B ternyata sudah menabung sejak 5 tahun lalu. Tabungan itu ia niatkan untuk meng-hajikan ayahnya. Penghasilan B sebagai PNS golongan bawah sebenarnya bisa dibilang cukup tidak cukup. Tapi B berusaha keras menyisihkan sebagian penghasilannya untuk tabungan tersebut. 
 
Tapi setelah tahun ke 5 ternyata B mendaftarkan ayahnya untuk pergi haji. ditambah tambahan pinjam ke sana kemari jadilah cukup untuk mendapatkan kuota haji. 
 
"Ayah, aku ingin berterima kasih kepada ayah karena telah membesarkanku, mendampingi ibu untuk mendidikku. Mungkin tidak cukup, tapi aku ingin meberikan ayah hadiah ibadah haji ke mekkah. Aku sudah menabung sejak 5 tahun yang lalu. Jika ayah setuju, aku ingin memberikan ini untuk ayah!"
 
Apa yang ktia rasakan saat kita jadi orangtua? Kita akan lebih mendengarkan perkataan anak kita yang A atau perkataan anak kita yang B?
 
Tentu yang B bukan? Pertanyaan sekali lagi. apakah kita sudah memberikan sebanyak-banyak manfaat untuk orangtua kita? 
 
Hal diatas hanya contoh. mungkin tidak semua orang mampu melakukan seperti B (sebenarnya bukan soal mampu, tapi apakah mau?), tapi sekali lagi hanya contoh. Memberikan manfaat pada orangtua tidak selalu seperti itu. Kita sendiri yang tahu bagaimana kondisi orangtua kita yang kemudian kita sesuaikan dengan kemampuan kita. 
 
Rumusnya: Ingin orangtua kita mendengarkan kita? Berikan sebanyak-banyaknya manfaat hidup kita untuk mereka. 

sumber copas : https://m.facebook.com/notes/yuk-jadi-orangtua-shalih/bagaimana-membangun-komunikasi-dengan-orangtua-yang-keras/10150217081920700?fbt_id=10150217081920700&_rdr#s_d68eb273c3c3fa91a52b7105ab7e923c