Bagaimana Membangun Komunikasi dengan Orangtua yang Keras?
Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School
Pembicara Parenting Internasional di 4 negara
dan Pembicara Nasional Parenting di 20 Propinsi, lebih dari 70 Kota di Indonesia
Seorang
teman curhat begini pada saya: "Abah, Apakah anak yang selalu di
kecewakan oleh orang tuanya. Bisa mengalami trauma berkepanjangan,
(mohon maaf) termasuk ketika hendak memutuskan memilih pasangan hidupnya
ketika sudah waktunya tiba? Cenderung ragu, dan tidak akan memilih
pendamping hidup yang sama sukunya dengan orang tuanya. Semua di
anggapnya sama?
Jika anak sulit berkomunikasi
dengan org tuanya, terutama ayah, bagaimana untuk membangun komunikasi
itu kembali. Si anak gencar memperbaiki…si ayah acuh tak peduli. Tentu
saja hal ini membuat sang anak patah semangat dan akhirnya membiarkan
ini semua dan ikut pasrah. Kasarnya: *mau di apain lagi, emang udah
begini..yaa sudahlah.
Sang anak takut jadi anak
durhaka, tp sungguh ini memang nyata. Ia punya ayah tapi terasa
tiada,,hampa baginya. Hanya dalam doa dan air matanya ia selalu hadirkan
ayahnya lewat doa. Dan ia sangat hormati ayahnya dan tak ada niat untuk
membenci atau dendam terhadap ayahnya.(Tentu tak enak hidup seperti ini
yaa abah)."
Teman, insya Allah semua manusia
bisa berubah, mudah-mudahan perubahan itu ke arah yang lebih baik
tentunnya. Maka, bukan tak mungkin Allah merubah seorang ayah kita yang
kita anggap keras dan berpengari buruk untuk menjadi lebih baik.
Bagaimana
agar ayah bisa berubah? Jangan berhenti berikhtiar untuk merubahnya.
Tapi, jangan pernah berpikir merubah ayah jika kita belum bisa
menyambungkan komunikasi yang nyaman dulu dengan ayah. Fokusnya adalah
bukan bagaimana seharusnya ayah berkomunikasi dengan kita, tapi
bagaimana kita seharusnya berkomunikasi dengan kita.
Jadi, sebelum merubah ayah, PR pertama adalah bagaimana agar ayah mau nyaman diajak komunikasi dengan kita.
Mari
kita lihat contoh Rasulullah saw. Mengapa perkataan Rasulullah begitu
dipercaya? Meski mungkin tak dilaksanakan oleh masyarakat Makkah waktu
pertama kali menyebarkan Islam, tak bisa dipungkiri Rasulullah sangat
bisa dipercaya. Ingat, peristiwa pemindahan batu hajar aswad? Mengapa
para tetua dan tokoh masyarakat Mekkah mempercayakan pada pemudah
kemarin sore bernama Muhammad (saw)?
Karena
kejujuran beliau? Tentu saja ini tak bisa disangsikan dan ini menjadi
syarat pertama. Tapi setelah itu, apakah kejujuran saja cukup untuk
membuat perkataan kita didengarkan oleh orang lain? Tidak bukan? Tak
sedikit orang jujur, tersingkir, idenya tak didengarkan, tak diikuti,
dan lain-lain. Lalu apa lagi?
Syarat kedua agar
'pesan' kita pada orang-orang di dekat kita dan di masyarakat sekitar
kita didengarkan adalah: jadilah orang yang bermanfaat untuk orang-orang
di dekat kita dan di masyarakat sekitar kita. Rasulullah pernah berkata
"khairanna anfauhum linnas", sebaik-baik manusia adalah yang paling
bermanfaat untuk orang lain.
Perkataan kita akan
benar-benar didengarkan, diikuti oleh misalnya teman kita jika kita
telah banyak memberikan manfaat untuk teman kita tersebut.
Demikian
juga untuk keluarga kita, untuk ayah kita. Sesungguhnya
perkataan-perktaaan kita akan didengarkan oleh orangtua kita jika kita
juga telah menjadi anak bermanfaat untuk orangtua kita. Pertanyaannya,
apakah selama ini kita sudah menjadi anak yang bemanfaat untuk orangtua
kita?
Berapa banyak kita membantu mereka saat
mereka dalam kesulitan-kesulitan? Apakah kita sering mengikhlaskan
sebagian gaji kita untuk menyenangkan orangtua kita atau untuk demi
kepentingan kita sendiri saja dengan alasan banyak kebutuhan (yang tak
pernah selesai itu?)
Ilustrasikan begini, ada dua
orang anak A dan B yang sudah dewasa. Katakanlah usianya masing-masing
30 tahun. Masing-masing A dan B masih memiliki seorang ayah yang
kira-kira usianya 55 tahun. Kedua-dua orangtuanya misalnya sama-sama
memiliki sifat keras, kolot, nggak peduli sama keluarga, dan sifat-sifat
buruk lainnya. A dan B inign merubah ayahnya ini. A dan B sama-sama
sudah menikah, punya keluarga dan punya anak. Masing-masing sudah punya
penghasilan yang cukup, meski tidak disebut kaya raya.
A
hampir setiap pekan berkunjung ke rumah orangtuanya. Maksud hati
silaturahmi dan menjaga hubungan baik dengna orangtua. Memantau
orangtuanya yang sudah mulai tua. Tapi, saat mendatangi orangtuannya,
seringnya berujung pada perdebatan dan percekcokan antara
orangtua-anak.
Apa yang membuat mereka cek-cok? A
sering 'ngasih tahu' ayahnya agar ayahnya bisa lebih bertanggung jawab.
Sementara ayah merasa sudah makan asam garam dalam kehidupan dan perlu
lagi ceramah dari anaknya.
Sedangkan B, sama
dengan A hampir setiap berkunjung kerumah orangtuanya. Bedanya saat
berkunjung kerumah orangtuanya B tidak membahas masalah perilaku
ayahnya, tetapi terus berusaha memebrikan kebaikan untuk ayahnya
terlebih dahulu. menenaykana kondisi kesehatan ayahnya dianggapnya
adalah kewajiban. Saat B melihat ayahnya batuk sedikit, B dengan serta
merta mengajak ayahnya periksa ke dokter. Meski ayahnya kadang menolak.
SAat ayahnya tidur, B sering kali memijit orangtuanya yang sudah tua
ini.
Sama seperti A, B tidak terlalu suka ayahnya
yang masih punya sikap keras seperti itu. Tapi asat tidur B sering
melihat gurat wajah ayahnya yang mulai keriput. Ia menyadari bahwa suatu
saat ayahnya akan pergi meninggalkan dunia ini. Ia ingin terus berbuat
baik dengan ayahnya di sisa waktu usianya ini. Biarlah itu ladang amal
untuknya, soal dosa ayahnya yang tak peduli keluarga itu urusan
ayahnya.
Tanpa diketahui ayahnya, B ternyata
sudah menabung sejak 5 tahun lalu. Tabungan itu ia niatkan untuk
meng-hajikan ayahnya. Penghasilan B sebagai PNS golongan bawah
sebenarnya bisa dibilang cukup tidak cukup. Tapi B berusaha keras
menyisihkan sebagian penghasilannya untuk tabungan tersebut.
Tapi
setelah tahun ke 5 ternyata B mendaftarkan ayahnya untuk pergi haji.
ditambah tambahan pinjam ke sana kemari jadilah cukup untuk mendapatkan
kuota haji.
"Ayah, aku ingin berterima kasih
kepada ayah karena telah membesarkanku, mendampingi ibu untuk
mendidikku. Mungkin tidak cukup, tapi aku ingin meberikan ayah hadiah
ibadah haji ke mekkah. Aku sudah menabung sejak 5 tahun yang lalu. Jika
ayah setuju, aku ingin memberikan ini untuk ayah!"
Apa
yang ktia rasakan saat kita jadi orangtua? Kita akan lebih mendengarkan
perkataan anak kita yang A atau perkataan anak kita yang B?
Tentu yang B bukan? Pertanyaan sekali lagi. apakah kita sudah memberikan sebanyak-banyak manfaat untuk orangtua kita?
Hal
diatas hanya contoh. mungkin tidak semua orang mampu melakukan seperti B
(sebenarnya bukan soal mampu, tapi apakah mau?), tapi sekali lagi hanya
contoh. Memberikan manfaat pada orangtua tidak selalu seperti itu. Kita
sendiri yang tahu bagaimana kondisi orangtua kita yang kemudian kita
sesuaikan dengan kemampuan kita.
Rumusnya: Ingin orangtua kita mendengarkan kita? Berikan sebanyak-banyaknya manfaat hidup kita untuk mereka.
sumber copas : https://m.facebook.com/notes/yuk-jadi-orangtua-shalih/bagaimana-membangun-komunikasi-dengan-orangtua-yang-keras/10150217081920700?fbt_id=10150217081920700&_rdr#s_d68eb273c3c3fa91a52b7105ab7e923c
Tidak ada komentar:
Posting Komentar