EDISI PARENTING
Oleh : Meili Damiati
Ketika
sedang asyik beraktifitas di dapur, saya mendegar jeritan si dua tahun
yang sanggup membuat kening saya berkerut. Spontan saja dari jauh saya
berteriak,
"Aliiiii.....jangan bikin nangis adik dooong..."
Ali yang sudah berumur 6 tahun pun lantang menjawab.
"Ga diapa-apain kok Umiii... Zahra aja yang nangis sendiri."
Hufft, dengan tampang kesal, saya beranjak dari dapur sambil ngomel, Duh, Abang... kok ga bisa main sama adik sih?!
Di sudut kamar terliihat Ali sedang asyik bermain dengan
mobil-mobilannya. Sementara Zahra tampak sedang merapikan kerudung
mungilnya di depan kaca sambil menggerutu.
"Zahra kenapa?" Saya pun bertanya.
"Mbut jaja mpak ni Mi... ga ica macuk.i..ih.." Jawab Zahra kesal.
Oh ternyata si kecil sedang mencoba merapikan kerudungnya dibagian
wajah. Tapi karena poninya nongol terus dan tidak berhasil ia masukan
dengan tangannya, jadilah dia marah besar, ha..ha...
Saya hanya
bisa tersenyum getir mengingat spontanitas tadi yang telah langsung
menyalahkan Ali sebagai abangnya. Saya sungguh merasa bersalah sudah
mematikan sel-sel anak dengan selalu menyalahkannya tanpa mengecek dulu
kebenaran yang ada.
Hingga masa-masa kecil saya pun jadi teringat
kembali, saat orangtua memarahi saya karena tangisan adik. Betapa
kesalnya saya waktu itu. Karena apa-apa yang membuat adik menangis,
pastilah saya yang disalahkan. Hmmm... ternyata enak sekali ya jadi anak
bungsu? pikir saya waktu itu agak sedikit sinis.
Suatu hari, disaat Ali beramain dengan Zahra dan merajuk karena mainannya diambil adik, spontan Kakekpun menasehatinya,
"Ali!!! kalau mainan kamu diambil adik, ya biasa. Dia kan adik Ali. Kalau Ali yang merebut mainan adik, itu baru ga boleh!"
Saya hanya bisa menghela nafas untuk menghindari adu argumen dengan
ortu. Lagi-lagi saya membatin, 'benar-benar ga adil nih. Enak banget ya
yang jadi anak bungsu karena dibela terus.'
Kasus lain,
Suatu hari, di rumah saya kedatangan saudara kampung yang mengadukan tentang tetangganya,
"Si Mina benar-benar ga punya hati. Sudah tau adiknya mau melahirkan,
eeh dia malah pergi ke luar kota. Kan kasian adiknya ga ada yang
mendampingi. Apalagi Ibunya kan sudah meninggal."
Mendengar
keluhan ini, lagi-lagi saya bersimpati kepada orang yang bergelar kakak.
Bagi saya ya wajar saja si kakak itu pergi ke luar kota. Pasti ada
kepentingannya. Apalagi adiknya itu sudah mau melahirkan anak yang
keempat. Dan sudah menjadi tanggung jawab suami, pastinya. Lalu, kenapa
lagi harus dengan kakak?!
Dari kasus-kasus ini saya berfikir,
sebenarnya sejauh apa sih peran seorang kakak? apakah seorang kakak
hanya punya kewajiban tanpa perlu diberikan haknya?
Jika antara
kakak dan adik ada sebuah masalah, apakah sebagai orang tua, kita sudah
adil menjadi seorang hakim? Karena salah dan benar bukan dinilai dari
faktor mana yang besar, mana yang kecil tapi siapa yang benar, siapa
yang salah? Jika ternyata si bungsu yang salah, apa tidak sebaiknya
mengajarkan dia sedini mungkin untuk meminta maaf atas kesalahan
tersebut kepada kakaknya?
Selain itu, jika sebagai orang tua,
kita menuntut si kakak untuk sayang kepada adiknya. Apakah kita juga
sudah mengajarkan si adik untuk dapat menghormati kakaknya?
Tulisan ini mengajak kita sebagai orang tua untuk melihat kembali semua
kebijakan yang telah kita terapkan di rumah. Apakah antara si kakak dan
si adik sudah memiliki hak dan kewajiban yang seimbang? Jangan sampai
niat kita untuk mendidik kakak agar menyayangi adiknya malah jadi
bumerang yang akhirnya menimbulkan dendam tersendiri dalam diri si
kakak, gara-gara ia selalu disalahkan dan adiknya selalu dibela.
Ternyata dari rumah, orang tua harus belajar menjadi hakim yang bijak.
Tentu saja jika ini sudah dapat kita terapkan, anak-anak akan tumbuh
menjadi pribadi-pribadi yang selalu membela kebenaran. Insya Allah.
------------------
Bkt, 240314
Tidak ada komentar:
Posting Komentar