Jumat, 28 Maret 2014

STEP MEMULAI BISNIS ONLINE

Oleh: Meili Damiati

1. Tentukan dulu bisnis online bagaimana yang ingin anda jalani. Apakah anda langsung sebagai penjual atau hanya pemasar? Jika anda penjualnya langsung, siapkan produk-produk yang akan anda jual. 

Sebaiknya pilih produk yang jika anda sendiri di posisi pembeli, anda juga menyukai produk tersebut.

2. Sebagai pemilik barang, yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah foto produk tersebut dengan mengusahakan hasil gambar yang sesuai dengan aslinya. Upload barang-barang tersebut di jejaring sosial (bagi saya, FB lebih menjanjikan). Tulis keterangan lengkap tentang produk dibawah foto beserta harganya. Jangan lupa tulis contact person agar konsumen mudah menghubungi anda.


3. Jika anda hanya sebagai pemasar (dropshipper), Jalin kerjasama yang baik dengan suplier yang telah anda pilih. Anda tetap bertanggung jawab kepada konsumen hingga barang samapai ke mereka, meskipun pengiriman barang, langsung suplier anda yang melakukan ke alamat konsumen.


4. Rajin-rajinlah promosi produk dengan membagikan foto-foto produk anda di facebook atau sejenisnya. Atau anda bisa mentag teman-teman yang anda yakin mereka tidak terganggu dengan aktifitas taging tersebut. Atau jika ternyata ada yang merasa terganggu, jangan sungkan meminta maaf dan segera meremove nama mereka dari foto anda.


5.Untuk memudahkan transaksi (cek / transfer uang), aktifkan internet banking anda. Jadi tidak perlu repot ke atm untuk memastikan transaksi keuangan.


6. Jaga kepercayaan dan bertanggungj jawablah jika ternyata anda mengalami resiko. Misal: barang rusak ketika nyampe di knsumen. Penjual yang baik akan berbaik hati untuk menggantinya.

Jika ada yang kurang, boleh ditanyakan

-----------
Bkt, 270314

BEKERJA DARI RUMAH

Oleh: Meili Damiati


"Umi, kok ga buka kedainya?" ujar salah satu tetangga via whatsapp.

"Lagi ada kerjaan di rumah jadi malas buka, hi..hi... Lagian isi kedai hanya buat pajangan doang. Jual beli via inetrnet wae, bu.."

"Enak juga usaha semau gue"

Saya hanya tersenyum sambil mikir, untung saya ga jadi karyawan kantoran. Bisa-bisa di PHK kalo kerja cuma ngikutin mood doang. Ini aja kedai samping rumah ga dibuka-buka karena asyik dengan aktifitas menulis sambil jual online.

Biarin ahh, paling kalo buka juga, yang beli cuma anak-anak. Stock makanan anak-anak di kedai emang sudah saya minimalisir, hanya untuk persediaan bocah-bocah saya sendiri, biar mereka ga jajan sembarangan tapi tetap aja, sekali waktu ada yang manggil, "Nte... beli teh gelas dooong..."
Jadilah tuh rolling door buka tutup, buka tutup.
Tapi ga masalah apa kata orang, yang penting jual beli online sangat nyaman digeluti oleh Ibu Rumah Tangga seperti saya. Dan saya sungguh menikmati itu.

Dulu komputer saya tempatkan di kedai. Jadi sambil jagain, aktifitas online tetap bisa dijalankan tapi ya ampuuuuuun..... rumah jadi ga terkontrol. Akhirnya kedai yang ga terlalu produktif saya jadikan hanya untuk pajangan produk yang sesekali dibuka. Komputer pun berpindah ke dalam kamar. Jadi sambil melaksanakan pekerjaan rumah, aktifitas online tetap bisa berjalan. asyik kaaan?

Oh ya, bisnis online ini sudah dari awal 2010 saya geluti. Yang penting amanah dan selalu jaga kepercayaan konsumen dan layani mereka dengan cepat dan ramah. Modal itu dulu, rasanya sudah cukup. Ga terlalu butuh modal karena kerjasama dengan suplier dengan modal komunikasi efektif bisa melancarkan usaha ini. Kalau mau penjualan pas-pasan yaa promosilah seadanya via jejaring sosial atau apapunlah itu. Kalau ingin penjualan melesat, maka kita juga harus rajin promosi. Tapi kalau dianggurin terus, yaa tinggal menunggu rezeki turun dari langit aja deh.

Yang minat untuk memulai bisnis online tanya-tanya saya boleeeh...

--------------
Bkt,270314

SEBUAH IMPIAN

Oleh: Meili Damiati

Kau terpekur, kawan. Memikirkan cita-citamu yang terasa masih jauh untuk kau gapai. "Mengapa pikiran ini terasa buntu?" lirihmu. Sesekali kau tatap layar kaca, membaca kembali karya-karya yang berhamburan silih berganti. "Sungguh indah kata-kata itu. Rangkaian yang benar-benar manis."

Matamu tak henti menatap layar. Kadang kau tersenyum, kadang kau terlihat sedih, kadang kau pun dibuat terpingkal.
Tapi, mengapa setelah itu kau bangkit, berjalan ke arah jendela dan terlihat begitu murung?
"Wajarkah aku bercita-cita menjadi Penulis?" ucapmu sambil melayangkan pandanganmu pada mentari.
Perlahan kau menitikkan air mata dan terisak, "Aku tak pantas jadi Penulis! Bahkan tak lebih dari 3 buku yang berhasil kubaca hingga akhir."

"Cita-citaku?? Apakah hanya khayalan semata?"
Kau mainkan jemarimu pada kaca jendela yang telah banyak dihinggapi debu, mengukir kata-kata yang entah apa. Tiba-tiba,
"Tidak!!" pekikmu. Bahkan cicak yang melihatmu pun ikut terpelanting, terkejut dengan teriakan hebatmu. "Aku tak boleh menyerah! Cita-cita ini harus menjadi nyata! Kuharus memburu karya-karya bagus untuk mengisi ruang kosong imajinasiku.
Aku harus bisa!!!!"

---------------
Bkt, 260314

TUAN PENGUSIK MALAM

Oleh: Meili Damiati





Teruntuk Tuan pengusik malamku.
Tahukah kau, ingin kuganti malam dengan terang siang?
Tidak, tidak, jangan dulu tersenyum puas. Aku tak ingin membawamu menikmati hangat matahari pagi. Sesungguhnya aku hanya tak ingin malam-malamku penuh dengan kau.
Cukup sudah, Tuan. Belaian malam membuatku hanyut bersamamu. Aku tak berdaya menahan gejolak yang kau bawa dalam mimpi.
Jangan sentuh tanganku, apalagi berani membisikkan sesuatu di telingaku. Jangan! Kau nyaris membuatku rebah dengan segala khayal pikir tentangmu.

Ah, Bagaimana bisa aku setolol itu. Membiarkanmu menodai kesucian hatiku.
Pergilah kau, Tuan bersama desir angin yang membawa kabut pekat menjauh dari langit hatiku. Aku tak ingin lagi ada kau menemani malamku.

Oh Tuhan, enyahkanlah ia dari fikiranku!!!
Sungguh kutak rela, kenikmatan impian semu ini merenggut kebahagiaan bersama suami dan anak-anakku

Buaian mimpi ini menyadarkanku untuk selalu memperkuat cintaku pada-Nya.
Semoga ikatan suci yang telah kuikrar tak mampu digoyahkan oleh apapun juga. 

Termasuk bayangmu..

_________
Bkt, 250314

Senin, 24 Maret 2014

KAKAK SELALU SALAH?

EDISI PARENTING

Oleh : Meili Damiati

Ketika sedang asyik beraktifitas di dapur, saya mendegar jeritan si dua tahun yang sanggup membuat kening saya berkerut. Spontan saja dari jauh saya berteriak,
"Aliiiii.....jangan bikin nangis adik dooong..."

Ali yang sudah berumur 6 tahun pun lantang menjawab.
"Ga diapa-apain kok Umiii... Zahra aja yang nangis sendiri."

Hufft, dengan tampang kesal, saya beranjak dari dapur sambil ngomel, Duh, Abang... kok ga bisa main sama adik sih?!
Di sudut kamar terliihat Ali sedang asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Sementara Zahra tampak sedang merapikan kerudung mungilnya di depan kaca sambil menggerutu.
"Zahra kenapa?" Saya pun bertanya.
"Mbut jaja mpak ni Mi... ga ica macuk.i..ih.." Jawab Zahra kesal.

Oh ternyata si kecil sedang mencoba merapikan kerudungnya dibagian wajah. Tapi karena poninya nongol terus dan tidak berhasil ia masukan dengan tangannya, jadilah dia marah besar, ha..ha...

Saya hanya bisa tersenyum getir mengingat spontanitas tadi yang telah langsung menyalahkan Ali sebagai abangnya. Saya sungguh merasa bersalah sudah mematikan sel-sel anak dengan selalu menyalahkannya tanpa mengecek dulu kebenaran yang ada.

Hingga masa-masa kecil saya pun jadi teringat kembali, saat orangtua memarahi saya karena tangisan adik. Betapa kesalnya saya waktu itu. Karena apa-apa yang membuat adik menangis, pastilah saya yang disalahkan. Hmmm... ternyata enak sekali ya jadi anak bungsu? pikir saya waktu itu agak sedikit sinis.
Suatu hari, disaat Ali beramain dengan Zahra dan merajuk karena mainannya diambil adik, spontan Kakekpun menasehatinya,
"Ali!!! kalau mainan kamu diambil adik, ya biasa. Dia kan adik Ali. Kalau Ali yang merebut mainan adik, itu baru ga boleh!"

Saya hanya bisa menghela nafas untuk menghindari adu argumen dengan ortu. Lagi-lagi saya membatin, 'benar-benar ga adil nih. Enak banget ya yang jadi anak bungsu karena dibela terus.'

Kasus lain,
Suatu hari, di rumah saya kedatangan saudara kampung yang mengadukan tentang tetangganya,
"Si Mina benar-benar ga punya hati. Sudah tau adiknya mau melahirkan, eeh dia malah pergi ke luar kota. Kan kasian adiknya ga ada yang mendampingi. Apalagi Ibunya kan sudah meninggal."

Mendengar keluhan ini, lagi-lagi saya bersimpati kepada orang yang bergelar kakak. Bagi saya ya wajar saja si kakak itu pergi ke luar kota. Pasti ada kepentingannya. Apalagi adiknya itu sudah mau melahirkan anak yang keempat. Dan sudah menjadi tanggung jawab suami, pastinya. Lalu, kenapa lagi harus dengan kakak?!

Dari kasus-kasus ini saya berfikir, sebenarnya sejauh apa sih peran seorang kakak? apakah seorang kakak hanya punya kewajiban tanpa perlu diberikan haknya?
Jika antara kakak dan adik ada sebuah masalah, apakah sebagai orang tua, kita sudah adil menjadi seorang hakim? Karena salah dan benar bukan dinilai dari faktor mana yang besar, mana yang kecil tapi siapa yang benar, siapa yang salah? Jika ternyata si bungsu yang salah, apa tidak sebaiknya mengajarkan dia sedini mungkin untuk meminta maaf atas kesalahan tersebut kepada kakaknya?
Selain itu, jika sebagai orang tua, kita menuntut si kakak untuk sayang kepada adiknya. Apakah kita juga sudah mengajarkan si adik untuk dapat menghormati kakaknya?

Tulisan ini mengajak kita sebagai orang tua untuk melihat kembali semua kebijakan yang telah kita terapkan di rumah. Apakah antara si kakak dan si adik sudah memiliki hak dan kewajiban yang seimbang? Jangan sampai niat kita untuk mendidik kakak agar menyayangi adiknya malah jadi bumerang yang akhirnya menimbulkan dendam tersendiri dalam diri si kakak, gara-gara ia selalu disalahkan dan adiknya selalu dibela.

Ternyata dari rumah, orang tua harus belajar menjadi hakim yang bijak. Tentu saja jika ini sudah dapat kita terapkan, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang selalu membela kebenaran. Insya Allah.
------------------
Bkt, 240314

Minggu, 23 Maret 2014

AKU BUKAN LAGI AKU

==Aku Bukan Lagi Aku==

 
Oleh: Meili Damiati


"Aku yang dulu bukanlah yang sekarang. Dulu ditendang, sekarang ku disayang. Dulu-dulu ku menderita, sekarang aku bahagia."


Kutipan lirik lagu penyanyi cilik 'Tegar' ini hanya untuk gambaran dari salah satu fakta bahwa kehidupan itu tidaklah selalu datar. Ibarat roda, kadang diatas dan kadang dibawah. Ibarat bintang, bulan dan matahari yang tak selamanya bersinar. Ada saatnya terang dan meredup, terbit dan tenggelam.


Begitu juga dengan pernikahan yang merupakan pintu masuk sebuah 'dunia' baru.
Pernikahan adalah proses penyatuan dua jiwa dalam sebuah ikatan suci. Alquran menyebutnya "Mitsaaqan Ghaliizha" yaitu sebuah perjanjian yang amat berat. Mengapa berat? Karena dengan pernikahan akan timbul hak dan kewajiban baru masing-masing individu. Ada hak-hak yang perlu dijaga dan kewajiban yang harus ditunaikan.


Dalam sebuah ikatan pernikahan, aku akan tergeser oleh kita. Kebutuhanku harus dikesampingkan untuk kebutuhan kita.

Aku yang dulu perfect harus lebih bisa menerima hal-hal yang dulu dirasa tidak wajar.
Aku yang dulu ingin sempurna harus bisa membuka mata bahwa kesempurnaanku dulu hanyalah karena keterbatasanku dalam mengenal diri lain di luar aku.

Dengan pernikahan, hati dan pikiranku pelan-pelan terbuka lebar oleh sebuah warna baru yang dimiliki pasangan bahkan keluarga besarnya.


Pernikahan lambat-laun memberikan pemahaman bahwa hidup bukan hanya teori ideal tapi realita yang hanya butuh keseimbangan di sana-sini. Keseimbangan dari setiap sisi kehidupannya.


Apalagi jika posisi istri/suami sudah bertambah juga oleh posisi Ayah dan Ibu, tentulah sebuah ketulusan dan keikhlasan untuk dapat melepas sebuah egositas sangat dibutuhkan.

Sebelum menikah, aku berhak melakukan apapun untuk kepentinganku. Waktu untuk aktualisasi berbagai kemampuan diri, kapanpun bisa aku lakukan. Tapi setelah menikah dan punya anak, aku harus rela mengikhlaskan sebagian keinginanku untuk membahagikan anak dan pasangan. Tentu saja, karena aku sudah memegang perjanjian berat itu.


Pernikahan itu indah karena dihiasi warna yang beragam.


Keindahan dalam kehidupan bukan hanya karena kesenangan semata. Episode kesedihan pun akan menjadi indah jika yakin bahwa skenario Allah hanya untuk menempa mental hamba-Nya. Hidup bagai pelangi yang diwarnai oleh lika-liku pengembaraan. Jika aku tetap menjadi aku, niscaya pengembaraan itu akan menemukan jalan buntu. Tapi jika aku menjadi kita, pengembaraan akan menemui tujuannya yaitu sebuah Keluarga SAMARA (Sakinah, Mawaddah wa Rahmah)

---------
Bkt, 200314

GORESAN TANGAN IBU RUMAH TANGGA

==Goresan Tangan Ibu Rumah Tangga==
Oleh: Meili Damiati



Hampir 10 tahun, profesi Ibu Rumah Tangga kugeluti. Jauh dari keramaian komunitas seperti masa kuliahku dulu. Tak ada lagi kata-kata yang dulu biasa kuucapkan. 

Baksos, rakor, proposal, bla...bla... Semua hanya tinggal dalam memori saja.
Syukurlah, aku tak terlalu ambil pusing dengan semua pengalaman organisasiku. 

Sederetan prestasi yang telah kuraih tidak harus membuatku goyah untuk mempertahanan tekad menjadi pengayom anak-anak yang telah kulahirkan dengan susah payah. 
Aku tak akan bisa memaafkan diri sendiri, jika anak-anak tumbuh tanpa kudampingi. 
Biarlah, gerakku tak tampak di luar sana. Karena kebahagiaanku bukanlah jabatan ataupun ketenaran tapi ketika aku mampu membentuk mental anak-anak untuk siap menjalani kehidupan mereka. Bukan hanya untuk 10-20 tahun kedepan tapi hingga ajal menjemput.
Semoga hak anak-anak dapat kuberikan penuh. Hingga tiada lagi kekecewaan yang harus terucap nanti, saat mereka dewasa.

Kadang, rasa jenuh datang dan pergi. 

Godaan karir di luar diam-diam menghampiri. Untung, pedoman Islam bisa membuatku kembali mengokohkan hati untuk bisa fokus menggarap amanah dari Ilahi. Ternyata surgaku tak jauh. Cukup Ridho Suami yang ku nanti.

Dikala suamiku sibuk memikirkan penghidupanku dan anak-anak, tentu saja pengasuhan anak-anak lebih ia percayakan padaku.
Tuntutan biaya hidup yang tak ada habisnya kadang menjadi alasanku untuk kembali memikirkan karir.
Alhamdulillah, suami selalu meyakinkanku bahwa rezki sudah diatur. Kerjakan perintah-Nya dan jauhi larangan-Nya niscaya semua kebutuhan akan dipenuhi-Nya.

Yaah... Aku bersyukur, dengan tetap bisa mendampingi anak-anak tumbuh, Allah selalu mengalirkan bonus harian di rekeningku. Aku hanya bisa tersenyum, tak henti memuji-Nya, online shop yang kurintis tanpa mengabaikan kewajibanku bisa menjadi wasilah pintu rizki dari-Nya. Kalau bisa dari rumah, mengapa harus keluar rumah?

---------------


Bkt, 180314

PELANGI RUMAH TANGGA

===Pelangi Rumah Tangga===

Oleh: Meili Damiati


Dua tahun silam.
Air mata tak lagi rintik di kedua pipiku, tapi lebat mengguyur wajah sendu, tak lagi mampu menahan isak tangis yang sudah berusaha kutahan.

Ini tidak adil!! 

Sejak menikah, diriku hanyut dalam rutinitas rumah tangga. Berusaha ikhlas melepas keinginan berkarir. Untuk anak-anak kita. Mendampingi mereka 24 jam meski lelahku tak lagi punya nama. Sementara kau???
Hari-harimu banyak habis dengan berbagai kegiatan luar. Aku tau, kau melanglang buana untuk dapat menghidupi kami.
Tapi kenapa??? Hanya sedikit hari yang bisa kau sisihkan untuk kita bersama??

Impian membina keluarga bahagia yang setiap hari selalu bisa berkumpul, hingga kini hanya menjadi angan-anganku saja.Oh Tuhan, betapa ingin, jika suamiku ada bersama kami selalu.

Tapi....
Bibirku bergetar, dadaku sesak. Luapan lahar dingin dari kedua mata tak henti meleleh.

Pikiran melayang pada sosok Ibu Mertuaku. Seorang perempuan gigih yang amat menyayangi putra satu-satunya. Ada rasa penyesalan yang timbul di hati. 'Ibu, tidakkah Ibu rela melepas putramu untukku? Membina keluarga utuh dalam sebuah rumah mungil yang lengkap dengan anggotanya? Mengapa selalu kau semat harapan yang teramat besar untuk suamiku sehingga ia harus berbagi kasih untukmu, untuk kakak iparku?' 

"Sayang, Ibu sudah banyak berkorban untukku. Uda merasa sudah banyak membebankan Ibu dalam masalah financial usaha. Kamu tau sendiri kan, hutang-hutang usaha Uda yang gagal ini semua ditopang oleh sertifikat toko Ibu? Uda tak kuasa menolak jika Ibu menyuruh Uda untuk melakukan sesuatu untuk beliau. Uni belum menikah," suamiku menyebut panggilan untuk kakaknya yang paling besar. "Jadi Uda juga harus memberi perhatian
kepadanya agar tidak selalu dirundung sepi."


"Aku tau,Da... Aku tau. Tapi aku juga membutuhkan kamu. Aku hanya seorang wanita yang punya keterbatasan tenaga. Anak-anak juga butuh seorang figur Ayah dalam keseharian mereka. Sementara Uda hanya hadir di tengah-tengah kami dua hari dalam sepekan!"
Sekali lagi, ini tidak adil!!! 


Gambaran kekecewaan demi kekecewaan semenjak menikah silih berganti bergelayut dalam memoriku.
Benar-benar egois!! Kehamilan pertama yang berumur 8 bulan harus kunikmati dengan keberangkatan seorang diri dari Jogja menuju Padang karena kuingin kelahiran pertama dekat dengan orangtua.


"Maaf, Uda tak bisa mengantarmu. Banyak tugas kuliah yang harus Uda selesaikan dulu. Semoga perjalananmu baik-baik saja." 


Ucapanmu hanya menambah luka di hati. Adilkah ini?! Batinku menjerit. Lambaianmu di bandara semakin menusuk-nusuk batin.Perih!!!
Rabb, tidakkah dia sayang padaku sehingga tega membiarkanku sendiri dengan perut buncit menikmati penerbangan ini ?! Lagi-lagi aku menangis.


Kelahiran anak pertama kitapun tak sempat kau dampingi karena kuliah dan kerjamu yang telah mencuri waktu yang seharusnya diberikan untukku. Kehamilan pertamaku memang banyak dirundung pilu hingga membekas pada tangisan si kecil ketika lahir yang tidak nyaring, tapi terisak.
"Maafkan Umi sayang... kaupun merasakan apa yang Umi rasakan."


Aku merasa sudah terlalu banyak mengalah untuk suami. Waktu untuk kami kuikhlaskan untuk berbagai macam kesibukannya. Tapi hanya banyak kekecewaan yang kuperoleh.
Tumpukan hutang usaha suami yang gagal, keberadaannya yang hanya sesaat bersama kami, sindiran-sindiran pahit yang harus kuterima dari orang-orang yang tidak menyukai posisiku. Rasanya ketika itu aku benar-benar berada dalam lingkaran setan.

Berbagai usaha telah kulakukan untuk bertahan. Tujuh bulan suami meninggalkanku bersama dua orang anak. Syukurlah usaha Rumah Gamis dengan pemasaran online dapat menopang kebutuhan kami ketika suami tak lagi mampu nenafkahi. Suamiku pergi merantau ke tanah jawa untuk menguji peruntungan. 

"Maafkan Uda... Belum bisa mengirimkan uang. Karena disini Uda lagi berusaha mencari jalan keluar untuk masalah financial kita." hampir tiap hari, tak lelah suami menelponku. Hanya untuk menyakini bahwa keadaanku dan anak-anak baik-baik saja. Selama 7 bulan itu, silih berganti aku menerima orang-orang yang menuntut haknya. Ada yang memelas bahkan ada pula yang menghardikku sebagai istri yang tak peduli pada suami. Aku sudah kebal dengan itu semua. Meski tetesan airmata selalu luruh di pipi.


Hingga suatu saat, ketika suami pulang tanpa hasil yang diharapkan, aku memutuskan untuk tinggal bersama orangtuaku di Bukittinggi agar suami lebih leluasa menyelesaikan semua masalah financial yang melanda. Sementara aku bisa lebih fokus mendidik anak-anak tanpa bayang-bayang persoalan hidup yang bisa mempengaruhi tumbuh kembang mereka.

Hingga pertengkaran besarpun terjadi,
"Uda... Aku tak sanggup lagi. Aku akan mengajukan cerai. Hubungan kita hanya akan memicu pertengkaran demi pertengkaran. Aku sungguh tidak bisa lagi mengiringi langkahmu."


Pesan singkat ini kukirimkan ketika suamiku berada di rumah orang tuanya. Luapan emosi tak kuasa kubendung Karena aku merasa perhatian suami pada keluarga besarnya lebih mendominasi daripada untukku dan anak-anak. Aku pasrah dengan keputusan yang kubuat.


"Istikharah dulu sayang... yang pasti Uda tetap mencintaimu. Jika memang keputusan itu yang terbaik, Uda tidak bisa memaksamu bertahan. Sekali lagi Uda tetap mencintaimu."

Balasan sms dari suami berhasil mengocok-ngocok perasaanku.
Raut wajah yang diselimuti persoalan berat tak mampu kututupi hingga mengundang keingintahuan orangtua. Akupun menceritakan semua kepedihan. Tapi apa jawaban yang kuterima??
Sambil mata berkaca-kaca Papa menasehatiku, "Nak... Apapun persoalanmu jangan ada kata cerai. Apa kau tega anak-anakmu nanti memiliki bapak yang lain?Jangan sampai, Nak..."
Ku tatap Papa. Ada harapan besar disana. Nasehat beliau berhasil menjernihkan pikiran yang sedang kalut. Kucoba hadirkan kembali kenangan-kenangan manis bersama suami.

10 tahun silam.
Ikatan pernikah suci menyatukan hati kami yang sudah saling mencintai. Menyatunya dua hati benar-benar menenggelamkan kami dalam masa pacaran pasca nikah. Sungguh indah saat itu. Suamiku yang supel memberi warna baru dalam hidup. Kebiasaan asingnya membuatku merasakan hidup di dunia baru.


Dikala aku sedih, dia selalu menghiburku. Disaat aku lelah, tangan kekarnya tiada gengsi memberikan pijatan lembut pada otot-ototku. Aku sakit, dialah yang paling memperhatikanku. Tak jarang dia menyuapiku makan disertai candaan renyahnya.
Oh Tuhan, dengan semua kebaikannya apakah patut kuhapus begitu saja karena kelemahannya?

Astaghfirullahal azhiim.. Ampuni hamba Ya Rabb, tak seharusnya kupergi menjauh dikala suami butuh dukunganku.
Banyak kebaikan yang juga telah dilakukan suami untukku, tak seharusnya aku lupakan begitu saja.

Alhamdulillah, aku bersyukur karena niat berpisah berhasil kutepis.
Semua persoalan hidup ternyata hanya menuntut kecerdasan individu untuk menyikapinya.

Kini.
Aku bersyukur dengan tempaan hidup yang diberikan Allah. Itu semua untuk mendidik mentalku sebagai istri dan Ibu. 


Seharusnya aku bersyukur memiliki suami yang meski telah menikah tapi selalu berusaha berbakti pada Ibunya. Kusadar, seoarng Ibu harus tetap berada diposisi yang lebih utama daripada istri. Bukankah itu yang telah diajarkan Baginda Rasul?!


Kesempurnaan tak akan pernah didapati. Ia akan datang pada jiwa yang bersyukur dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada pasangan.
Apalagi kini suamiku semakin taat menjalin kedekatan pada Sang Pemberi Cinta. Hingga tiada alasan bagiku lagi untuk tidak menyayanginya sepenuh hati.

Suamiku, kini ku akan terus berusaha mendampingimu dalam suka dan duka. Semoga badai financial ini segera berakhir.
Aku kan selalu ingat nasehatmu,

"Sayang... kuatkan dhuhamu. Uda yakin Allah akan memberikan jalan keluar untuk semua masalah yang kita hadapi."

Suamiku...
Aku sungguh mencintaimu, kelebihanku ternyata untuk menutupi kekuranganmu. Begitupun kekuranganku akan ditutupi oleh kelebihanmu. Aku berharap bisa menjadi pendampingmu dunia dan akhirat. Aaamiiin...

------------
Bkt, 190314