Rabu, 28 Mei 2014

FAMILY ODOJ 414

by: Meili


Tak pernah bertatap
Tapi selalu bersama
terpisahkan jarak
Tapi selalu terasa dekat

Saling menguatkan
Saling berbagi kebahagiaan
Saling bertukar pengalaman
Saling mengingatkan dalam kebaikan

One Day One Juz
Darimu kami berubah
berubah ke arah yang lebih berkah
Semoga mencapai Mardhatillah

Luv u all cause Allah



-------------
Bkt, 280514

Kamis, 15 Mei 2014

KETIKA CINTA MENGUSIK QALBU

KETIKA CINTA MENGUSIK QALBU
15/5/14

Cinta itu anugerah
Setiap insan pasti pernah merasakan
Tapi kadang, cinta itu datang dan pergi
Datang tanpa diharap
atau pergi disaat terlelap

Ketika kau dapatkan cinta yang telat
Saat kau telah diikat akad
Jangan pernah ada sesal
pasanganmu kini adalah pilihan terbesar
yang patut kau jaga hingga ajal

katakan padanya,
"Kita bukan lagi anak SMA
yang baru merasakan cinta
Tapi kita manusia dewasa
yang harus menjaga keutuhan keluarga"

Ukhuwah tetap dijaga
Meskipun tak lagi bersama
Kau harus jadi yang terbaik untuk keluargamu
Akupun kan menjadi yang terbaik untuk keluargaku
Masa lalu tak patut dituju

by: Meili Damiati

Sabtu, 12 April 2014

PERUBAHAN

Oleh: Meili Damiati

Berjalan...
Melihat...
Mendengar...
Memperhatikan...

Istiqomah
butuh tekad dan usaha
Istiqomah
butuh ilmu dan keyakinan

Kuberdiri
berusaha kokoh
tapi angin selalu tak mau diam
Ombak tak hendak henti menghempas

Aku goyang
Kadang terjatuh
Aku bangun
kemudian jatuh lagi

Terseok ku mengejar
menggapai ketertinggalan
dari mereka yang telah
jauh berjalan menuju Taman Impian

Ku mau berubah
bukan tidak istiqomah
Ku mau berubah
Untuk hidup yang lebih berkah

------------
Bkt, 120414

Rabu, 02 April 2014

AKU INGIN MENGENALMU LEBIH DEKAT LAGI

Oleh: Meili Damiati



Kututup pintu kamar dengan pelan. Tampak jagoan-jagoan cilikku sudah dua jam yang lalu terlelap. Segera lampu kumatikan.
Sambil meluruskan punggung di samping suami, aku usap lembut keningnya. "Yah, sudah ngantuk ya?" tanyaku pelan.
"Iya, Mi..." terdengar sahutannya setengah sadar.

"Yah... Umi boleh minta waktu setengah jam ga? Atau paling lama sejam deh ya..." rajukku.

"Buat apa siiih?" Suamiku masih belum membuka matanya. Aku tau, dia benar-benar mengantuk. Tapi kupikir kalo tidak malam ini, pasti aku harus menunggu satu minggu lagi. Besok pagi kan suamiku harus kembali bekerja ke kota Padang dan baru pulang lagi di akhir pekan.

"Yah..." aku berusaha membangunkannya dengan mempermainkan daun telinga dan mencium pipinya.

"Umi... besok kan Ayah mau puasa. Harus bangun pagi-pagi sekali. Mending kita tidur yuuk." Suamiku berusaha beralasan dengan nada suara yang semakin berat karena kantuknya yang teramat sangat.

"Duh Ayah, Umi cuma minta waktu sebentar saja kok."
 
"Besok pagi ya..."

"Besok pagi pasti kita ga ada waktu Yah. Kan memang sebaiknya waktu bercerita suami istri itu malam sebelum tidur, Yah." Ucapku meyakinkan.

"Gini lho Yah... Umi mau Ayah bercerita sedikit tentang pertama Ayah mengenal Umi. Umi sudah menulis kisah hidup keluarga kita. Tapi itu kan dari sudut pandang Umi. Jadi malam ini, Umi ingin mendengar cerita dari sudut pandang Ayah. Kapan Ayah mulai menaruh hati pada Umi? Bagaimana dulu cara Ayah meyakinkan Mami untuk bisa memberi izin Ayah menikah sementara kakak tertua belum menikah? Coba Ayah ceritakan ya... Umi ingin tau langsung dari Ayah."

Meskipun awalnya terlihat malas untuk mengorbankan jam tidurnya, akhirnya rasa kantuk suami hilang bersama penggalan kisah yang berhasil ia ungkapkan. Ku simak baik-baik kisah bersejarah itu.
Suamiku dulu adalah salah satu ustadz di Pondok Pesantren tempatku menimba ilmu.

Karena ilmunya dalam pengobatan herbal mencukupi, maka kedekatan kami terbangun ketika aku dulu sering sakit-sakitan. Mau tidak mau interaksi berjalan, pastinya tetap dalam koridor yang aman. Sama seperti yang kurasakan, waktu itu belum ada rasa spesial yang tumbuh di antara kami. Hanya sebatas ustadz muda dan santriwati

Hanya satu tahun kebersamaan kami di Pesantren. Karena ustadz muda ini harus melanjutkan kuliahnya di sebuah Universitas Islam Swasta di Yogyakarta sementara aku lulus di sebuah Perguruan Tinggi Negri di kota Bandung. Komunikasi diantara kami masih terjaga karena ia selalu menanyakan tentang kesehatanku. Sebagai wanita, wajar saja jika waktu itu aku merasakan punya tempat spesial di hatinya. Oh ternyata tidak baginya, perhatiannya itu karena memang sifatnya yang natural. Sudah begitu dengan siapa saja.

"Ooh gitu. Berarti selama ini memang Umi yang kegeeran ya karena perhatian yang pernah Ayah berikan?" selidikku.

Suamiku tersenyum. "Kan Ayah sudah bilang, dulu pas kuliah, Umi bilang mau lanjut S2. Sementara Ayah sangat ingin menjaga diri dengan menikah."

Aku dulu memang sempat menjalani ta'arruf dengan seorang aktivis dikampus Tapi karena ketidaksamaan visi misi, akhirnya ta'arruf berakhir.
Begitu juga dengan suamiku,
"Kebetulan dia dulu sekeretaris Ayah di organisasi. Kami merasa cocok. Dan Ayah pun sudah menghadap orangtuanya..."

"trus...trus...." cecarkan ingin tau.

"Ya, begitulah... karena dia orang Jawa dan Ayah Minang, banyak pertimbangan dari orang tuanya untuk meng iyakan. Lalu, datanglah surat dari Umi menanyakan. Ayah pun kaget. Padahal dulu Ayah menutup kemungkinan itu karena keinginan kuat Umi untuk bisa melanjutkan S2 dulu baru menikah, rasanya sia-sia jika Ayah berharap."

Aku terkekeh mengingat kembali keberanianku waktu itu.
Pikiranku mulai tertuju pada ustadz muda ini ketika Papa menanyakannya padaku. Ntahlah, sepertinya Papa sangat menyukai kepribadiannya. Karena memang menurutku dia orang yang baik, akupun mulai menanyakan langsung, apakah perhatiannya padaku selama ini adalah bentuk niatnya untuk menjadikanku belahan jiwa atau tidak? Jawaban pasti akan membuat langkahku kedepan menjadi tidak ragu. Alhamdulillah gayungpun bersambut.

Mengulangi sejarah perjalanan cinta sepasang suami istri adalah moment terindah yang sayang untuk dilewatkan. Seperti malam ini. Hanya butuh satu jam paling lama untuk memupuk subur kembali benih-benih cinta yang telah tumbuh di antara kami. Kini usia pernikahan kami baru akan memasuki tahun kesepuluh. Malam ini adalah malam bersejarah dalam proses saling mengenal antara aku dan suami.

"Kalau Umi ga berani menanyakan langsung, mungkin kita ga disini sekarang ya Ayah? ledekku.

"Ha..ha... itulah keajaiban jodoh, Umi. Kita harus yakin itu, perjalanan yang kita hadapi hanyalah proses menuju takdir itu."

"Iya, Ayah... tapi yang penting sekarang Ayah mencintai Umi kan?" Aku tau, ini pertanyaan gombal memang. Tapi naluri wanitaku sangat ingin mendengar jawabannya langsung dari mulut suamiku.

"Iya dong sayang... Umi bisa nilai sendiri dari apa yang telah Ayah lakukan untuk Umi dan anak-anak, kan..."

Aku mengangguk. Mengingat betapa tulusnya suami menyayangiku. Dengan kehadirannya yang hanya di akhir pekan, aku selalu merasakan tugas-tugasku menjadi ringan dengan kehadirannya. Selama keberadaanya di rumah, suamikulah yang selalu belanja kebutuhan dapur di pasar, menyuapi anak-anak makan, mengajak kami wisata alam, bahkan selalu menemaniku untuk memasak di dapur. Bagiku dan suami, dapur adalah salah-satu tempat bagi kami untuk menunjukkan kasih sayang.

"Terimakasih Ayah..." Kupeluk dirinya dengan segenap jiwa. Aku bahagia Allah telah menganugerahiku suami yang penyayang.

Aku tersenyum puas. Malam ini sangat berarti bagiku. Karena kubisa tau isi hati suamiku langsung dari cerita yang ia kisahkan,

"Semoga proses mengenal kita selalu berjalan setiap saat ya Ayah..."
Suamiku mengangguk. Sebuah kecupan hangatpun mendarat di keningku.
------------
Bkt, 250314

Jumat, 28 Maret 2014

STEP MEMULAI BISNIS ONLINE

Oleh: Meili Damiati

1. Tentukan dulu bisnis online bagaimana yang ingin anda jalani. Apakah anda langsung sebagai penjual atau hanya pemasar? Jika anda penjualnya langsung, siapkan produk-produk yang akan anda jual. 

Sebaiknya pilih produk yang jika anda sendiri di posisi pembeli, anda juga menyukai produk tersebut.

2. Sebagai pemilik barang, yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah foto produk tersebut dengan mengusahakan hasil gambar yang sesuai dengan aslinya. Upload barang-barang tersebut di jejaring sosial (bagi saya, FB lebih menjanjikan). Tulis keterangan lengkap tentang produk dibawah foto beserta harganya. Jangan lupa tulis contact person agar konsumen mudah menghubungi anda.


3. Jika anda hanya sebagai pemasar (dropshipper), Jalin kerjasama yang baik dengan suplier yang telah anda pilih. Anda tetap bertanggung jawab kepada konsumen hingga barang samapai ke mereka, meskipun pengiriman barang, langsung suplier anda yang melakukan ke alamat konsumen.


4. Rajin-rajinlah promosi produk dengan membagikan foto-foto produk anda di facebook atau sejenisnya. Atau anda bisa mentag teman-teman yang anda yakin mereka tidak terganggu dengan aktifitas taging tersebut. Atau jika ternyata ada yang merasa terganggu, jangan sungkan meminta maaf dan segera meremove nama mereka dari foto anda.


5.Untuk memudahkan transaksi (cek / transfer uang), aktifkan internet banking anda. Jadi tidak perlu repot ke atm untuk memastikan transaksi keuangan.


6. Jaga kepercayaan dan bertanggungj jawablah jika ternyata anda mengalami resiko. Misal: barang rusak ketika nyampe di knsumen. Penjual yang baik akan berbaik hati untuk menggantinya.

Jika ada yang kurang, boleh ditanyakan

-----------
Bkt, 270314

BEKERJA DARI RUMAH

Oleh: Meili Damiati


"Umi, kok ga buka kedainya?" ujar salah satu tetangga via whatsapp.

"Lagi ada kerjaan di rumah jadi malas buka, hi..hi... Lagian isi kedai hanya buat pajangan doang. Jual beli via inetrnet wae, bu.."

"Enak juga usaha semau gue"

Saya hanya tersenyum sambil mikir, untung saya ga jadi karyawan kantoran. Bisa-bisa di PHK kalo kerja cuma ngikutin mood doang. Ini aja kedai samping rumah ga dibuka-buka karena asyik dengan aktifitas menulis sambil jual online.

Biarin ahh, paling kalo buka juga, yang beli cuma anak-anak. Stock makanan anak-anak di kedai emang sudah saya minimalisir, hanya untuk persediaan bocah-bocah saya sendiri, biar mereka ga jajan sembarangan tapi tetap aja, sekali waktu ada yang manggil, "Nte... beli teh gelas dooong..."
Jadilah tuh rolling door buka tutup, buka tutup.
Tapi ga masalah apa kata orang, yang penting jual beli online sangat nyaman digeluti oleh Ibu Rumah Tangga seperti saya. Dan saya sungguh menikmati itu.

Dulu komputer saya tempatkan di kedai. Jadi sambil jagain, aktifitas online tetap bisa dijalankan tapi ya ampuuuuuun..... rumah jadi ga terkontrol. Akhirnya kedai yang ga terlalu produktif saya jadikan hanya untuk pajangan produk yang sesekali dibuka. Komputer pun berpindah ke dalam kamar. Jadi sambil melaksanakan pekerjaan rumah, aktifitas online tetap bisa berjalan. asyik kaaan?

Oh ya, bisnis online ini sudah dari awal 2010 saya geluti. Yang penting amanah dan selalu jaga kepercayaan konsumen dan layani mereka dengan cepat dan ramah. Modal itu dulu, rasanya sudah cukup. Ga terlalu butuh modal karena kerjasama dengan suplier dengan modal komunikasi efektif bisa melancarkan usaha ini. Kalau mau penjualan pas-pasan yaa promosilah seadanya via jejaring sosial atau apapunlah itu. Kalau ingin penjualan melesat, maka kita juga harus rajin promosi. Tapi kalau dianggurin terus, yaa tinggal menunggu rezeki turun dari langit aja deh.

Yang minat untuk memulai bisnis online tanya-tanya saya boleeeh...

--------------
Bkt,270314

SEBUAH IMPIAN

Oleh: Meili Damiati

Kau terpekur, kawan. Memikirkan cita-citamu yang terasa masih jauh untuk kau gapai. "Mengapa pikiran ini terasa buntu?" lirihmu. Sesekali kau tatap layar kaca, membaca kembali karya-karya yang berhamburan silih berganti. "Sungguh indah kata-kata itu. Rangkaian yang benar-benar manis."

Matamu tak henti menatap layar. Kadang kau tersenyum, kadang kau terlihat sedih, kadang kau pun dibuat terpingkal.
Tapi, mengapa setelah itu kau bangkit, berjalan ke arah jendela dan terlihat begitu murung?
"Wajarkah aku bercita-cita menjadi Penulis?" ucapmu sambil melayangkan pandanganmu pada mentari.
Perlahan kau menitikkan air mata dan terisak, "Aku tak pantas jadi Penulis! Bahkan tak lebih dari 3 buku yang berhasil kubaca hingga akhir."

"Cita-citaku?? Apakah hanya khayalan semata?"
Kau mainkan jemarimu pada kaca jendela yang telah banyak dihinggapi debu, mengukir kata-kata yang entah apa. Tiba-tiba,
"Tidak!!" pekikmu. Bahkan cicak yang melihatmu pun ikut terpelanting, terkejut dengan teriakan hebatmu. "Aku tak boleh menyerah! Cita-cita ini harus menjadi nyata! Kuharus memburu karya-karya bagus untuk mengisi ruang kosong imajinasiku.
Aku harus bisa!!!!"

---------------
Bkt, 260314

TUAN PENGUSIK MALAM

Oleh: Meili Damiati





Teruntuk Tuan pengusik malamku.
Tahukah kau, ingin kuganti malam dengan terang siang?
Tidak, tidak, jangan dulu tersenyum puas. Aku tak ingin membawamu menikmati hangat matahari pagi. Sesungguhnya aku hanya tak ingin malam-malamku penuh dengan kau.
Cukup sudah, Tuan. Belaian malam membuatku hanyut bersamamu. Aku tak berdaya menahan gejolak yang kau bawa dalam mimpi.
Jangan sentuh tanganku, apalagi berani membisikkan sesuatu di telingaku. Jangan! Kau nyaris membuatku rebah dengan segala khayal pikir tentangmu.

Ah, Bagaimana bisa aku setolol itu. Membiarkanmu menodai kesucian hatiku.
Pergilah kau, Tuan bersama desir angin yang membawa kabut pekat menjauh dari langit hatiku. Aku tak ingin lagi ada kau menemani malamku.

Oh Tuhan, enyahkanlah ia dari fikiranku!!!
Sungguh kutak rela, kenikmatan impian semu ini merenggut kebahagiaan bersama suami dan anak-anakku

Buaian mimpi ini menyadarkanku untuk selalu memperkuat cintaku pada-Nya.
Semoga ikatan suci yang telah kuikrar tak mampu digoyahkan oleh apapun juga. 

Termasuk bayangmu..

_________
Bkt, 250314

Senin, 24 Maret 2014

KAKAK SELALU SALAH?

EDISI PARENTING

Oleh : Meili Damiati

Ketika sedang asyik beraktifitas di dapur, saya mendegar jeritan si dua tahun yang sanggup membuat kening saya berkerut. Spontan saja dari jauh saya berteriak,
"Aliiiii.....jangan bikin nangis adik dooong..."

Ali yang sudah berumur 6 tahun pun lantang menjawab.
"Ga diapa-apain kok Umiii... Zahra aja yang nangis sendiri."

Hufft, dengan tampang kesal, saya beranjak dari dapur sambil ngomel, Duh, Abang... kok ga bisa main sama adik sih?!
Di sudut kamar terliihat Ali sedang asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Sementara Zahra tampak sedang merapikan kerudung mungilnya di depan kaca sambil menggerutu.
"Zahra kenapa?" Saya pun bertanya.
"Mbut jaja mpak ni Mi... ga ica macuk.i..ih.." Jawab Zahra kesal.

Oh ternyata si kecil sedang mencoba merapikan kerudungnya dibagian wajah. Tapi karena poninya nongol terus dan tidak berhasil ia masukan dengan tangannya, jadilah dia marah besar, ha..ha...

Saya hanya bisa tersenyum getir mengingat spontanitas tadi yang telah langsung menyalahkan Ali sebagai abangnya. Saya sungguh merasa bersalah sudah mematikan sel-sel anak dengan selalu menyalahkannya tanpa mengecek dulu kebenaran yang ada.

Hingga masa-masa kecil saya pun jadi teringat kembali, saat orangtua memarahi saya karena tangisan adik. Betapa kesalnya saya waktu itu. Karena apa-apa yang membuat adik menangis, pastilah saya yang disalahkan. Hmmm... ternyata enak sekali ya jadi anak bungsu? pikir saya waktu itu agak sedikit sinis.
Suatu hari, disaat Ali beramain dengan Zahra dan merajuk karena mainannya diambil adik, spontan Kakekpun menasehatinya,
"Ali!!! kalau mainan kamu diambil adik, ya biasa. Dia kan adik Ali. Kalau Ali yang merebut mainan adik, itu baru ga boleh!"

Saya hanya bisa menghela nafas untuk menghindari adu argumen dengan ortu. Lagi-lagi saya membatin, 'benar-benar ga adil nih. Enak banget ya yang jadi anak bungsu karena dibela terus.'

Kasus lain,
Suatu hari, di rumah saya kedatangan saudara kampung yang mengadukan tentang tetangganya,
"Si Mina benar-benar ga punya hati. Sudah tau adiknya mau melahirkan, eeh dia malah pergi ke luar kota. Kan kasian adiknya ga ada yang mendampingi. Apalagi Ibunya kan sudah meninggal."

Mendengar keluhan ini, lagi-lagi saya bersimpati kepada orang yang bergelar kakak. Bagi saya ya wajar saja si kakak itu pergi ke luar kota. Pasti ada kepentingannya. Apalagi adiknya itu sudah mau melahirkan anak yang keempat. Dan sudah menjadi tanggung jawab suami, pastinya. Lalu, kenapa lagi harus dengan kakak?!

Dari kasus-kasus ini saya berfikir, sebenarnya sejauh apa sih peran seorang kakak? apakah seorang kakak hanya punya kewajiban tanpa perlu diberikan haknya?
Jika antara kakak dan adik ada sebuah masalah, apakah sebagai orang tua, kita sudah adil menjadi seorang hakim? Karena salah dan benar bukan dinilai dari faktor mana yang besar, mana yang kecil tapi siapa yang benar, siapa yang salah? Jika ternyata si bungsu yang salah, apa tidak sebaiknya mengajarkan dia sedini mungkin untuk meminta maaf atas kesalahan tersebut kepada kakaknya?
Selain itu, jika sebagai orang tua, kita menuntut si kakak untuk sayang kepada adiknya. Apakah kita juga sudah mengajarkan si adik untuk dapat menghormati kakaknya?

Tulisan ini mengajak kita sebagai orang tua untuk melihat kembali semua kebijakan yang telah kita terapkan di rumah. Apakah antara si kakak dan si adik sudah memiliki hak dan kewajiban yang seimbang? Jangan sampai niat kita untuk mendidik kakak agar menyayangi adiknya malah jadi bumerang yang akhirnya menimbulkan dendam tersendiri dalam diri si kakak, gara-gara ia selalu disalahkan dan adiknya selalu dibela.

Ternyata dari rumah, orang tua harus belajar menjadi hakim yang bijak. Tentu saja jika ini sudah dapat kita terapkan, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang selalu membela kebenaran. Insya Allah.
------------------
Bkt, 240314

Minggu, 23 Maret 2014

AKU BUKAN LAGI AKU

==Aku Bukan Lagi Aku==

 
Oleh: Meili Damiati


"Aku yang dulu bukanlah yang sekarang. Dulu ditendang, sekarang ku disayang. Dulu-dulu ku menderita, sekarang aku bahagia."


Kutipan lirik lagu penyanyi cilik 'Tegar' ini hanya untuk gambaran dari salah satu fakta bahwa kehidupan itu tidaklah selalu datar. Ibarat roda, kadang diatas dan kadang dibawah. Ibarat bintang, bulan dan matahari yang tak selamanya bersinar. Ada saatnya terang dan meredup, terbit dan tenggelam.


Begitu juga dengan pernikahan yang merupakan pintu masuk sebuah 'dunia' baru.
Pernikahan adalah proses penyatuan dua jiwa dalam sebuah ikatan suci. Alquran menyebutnya "Mitsaaqan Ghaliizha" yaitu sebuah perjanjian yang amat berat. Mengapa berat? Karena dengan pernikahan akan timbul hak dan kewajiban baru masing-masing individu. Ada hak-hak yang perlu dijaga dan kewajiban yang harus ditunaikan.


Dalam sebuah ikatan pernikahan, aku akan tergeser oleh kita. Kebutuhanku harus dikesampingkan untuk kebutuhan kita.

Aku yang dulu perfect harus lebih bisa menerima hal-hal yang dulu dirasa tidak wajar.
Aku yang dulu ingin sempurna harus bisa membuka mata bahwa kesempurnaanku dulu hanyalah karena keterbatasanku dalam mengenal diri lain di luar aku.

Dengan pernikahan, hati dan pikiranku pelan-pelan terbuka lebar oleh sebuah warna baru yang dimiliki pasangan bahkan keluarga besarnya.


Pernikahan lambat-laun memberikan pemahaman bahwa hidup bukan hanya teori ideal tapi realita yang hanya butuh keseimbangan di sana-sini. Keseimbangan dari setiap sisi kehidupannya.


Apalagi jika posisi istri/suami sudah bertambah juga oleh posisi Ayah dan Ibu, tentulah sebuah ketulusan dan keikhlasan untuk dapat melepas sebuah egositas sangat dibutuhkan.

Sebelum menikah, aku berhak melakukan apapun untuk kepentinganku. Waktu untuk aktualisasi berbagai kemampuan diri, kapanpun bisa aku lakukan. Tapi setelah menikah dan punya anak, aku harus rela mengikhlaskan sebagian keinginanku untuk membahagikan anak dan pasangan. Tentu saja, karena aku sudah memegang perjanjian berat itu.


Pernikahan itu indah karena dihiasi warna yang beragam.


Keindahan dalam kehidupan bukan hanya karena kesenangan semata. Episode kesedihan pun akan menjadi indah jika yakin bahwa skenario Allah hanya untuk menempa mental hamba-Nya. Hidup bagai pelangi yang diwarnai oleh lika-liku pengembaraan. Jika aku tetap menjadi aku, niscaya pengembaraan itu akan menemukan jalan buntu. Tapi jika aku menjadi kita, pengembaraan akan menemui tujuannya yaitu sebuah Keluarga SAMARA (Sakinah, Mawaddah wa Rahmah)

---------
Bkt, 200314

GORESAN TANGAN IBU RUMAH TANGGA

==Goresan Tangan Ibu Rumah Tangga==
Oleh: Meili Damiati



Hampir 10 tahun, profesi Ibu Rumah Tangga kugeluti. Jauh dari keramaian komunitas seperti masa kuliahku dulu. Tak ada lagi kata-kata yang dulu biasa kuucapkan. 

Baksos, rakor, proposal, bla...bla... Semua hanya tinggal dalam memori saja.
Syukurlah, aku tak terlalu ambil pusing dengan semua pengalaman organisasiku. 

Sederetan prestasi yang telah kuraih tidak harus membuatku goyah untuk mempertahanan tekad menjadi pengayom anak-anak yang telah kulahirkan dengan susah payah. 
Aku tak akan bisa memaafkan diri sendiri, jika anak-anak tumbuh tanpa kudampingi. 
Biarlah, gerakku tak tampak di luar sana. Karena kebahagiaanku bukanlah jabatan ataupun ketenaran tapi ketika aku mampu membentuk mental anak-anak untuk siap menjalani kehidupan mereka. Bukan hanya untuk 10-20 tahun kedepan tapi hingga ajal menjemput.
Semoga hak anak-anak dapat kuberikan penuh. Hingga tiada lagi kekecewaan yang harus terucap nanti, saat mereka dewasa.

Kadang, rasa jenuh datang dan pergi. 

Godaan karir di luar diam-diam menghampiri. Untung, pedoman Islam bisa membuatku kembali mengokohkan hati untuk bisa fokus menggarap amanah dari Ilahi. Ternyata surgaku tak jauh. Cukup Ridho Suami yang ku nanti.

Dikala suamiku sibuk memikirkan penghidupanku dan anak-anak, tentu saja pengasuhan anak-anak lebih ia percayakan padaku.
Tuntutan biaya hidup yang tak ada habisnya kadang menjadi alasanku untuk kembali memikirkan karir.
Alhamdulillah, suami selalu meyakinkanku bahwa rezki sudah diatur. Kerjakan perintah-Nya dan jauhi larangan-Nya niscaya semua kebutuhan akan dipenuhi-Nya.

Yaah... Aku bersyukur, dengan tetap bisa mendampingi anak-anak tumbuh, Allah selalu mengalirkan bonus harian di rekeningku. Aku hanya bisa tersenyum, tak henti memuji-Nya, online shop yang kurintis tanpa mengabaikan kewajibanku bisa menjadi wasilah pintu rizki dari-Nya. Kalau bisa dari rumah, mengapa harus keluar rumah?

---------------


Bkt, 180314

PELANGI RUMAH TANGGA

===Pelangi Rumah Tangga===

Oleh: Meili Damiati


Dua tahun silam.
Air mata tak lagi rintik di kedua pipiku, tapi lebat mengguyur wajah sendu, tak lagi mampu menahan isak tangis yang sudah berusaha kutahan.

Ini tidak adil!! 

Sejak menikah, diriku hanyut dalam rutinitas rumah tangga. Berusaha ikhlas melepas keinginan berkarir. Untuk anak-anak kita. Mendampingi mereka 24 jam meski lelahku tak lagi punya nama. Sementara kau???
Hari-harimu banyak habis dengan berbagai kegiatan luar. Aku tau, kau melanglang buana untuk dapat menghidupi kami.
Tapi kenapa??? Hanya sedikit hari yang bisa kau sisihkan untuk kita bersama??

Impian membina keluarga bahagia yang setiap hari selalu bisa berkumpul, hingga kini hanya menjadi angan-anganku saja.Oh Tuhan, betapa ingin, jika suamiku ada bersama kami selalu.

Tapi....
Bibirku bergetar, dadaku sesak. Luapan lahar dingin dari kedua mata tak henti meleleh.

Pikiran melayang pada sosok Ibu Mertuaku. Seorang perempuan gigih yang amat menyayangi putra satu-satunya. Ada rasa penyesalan yang timbul di hati. 'Ibu, tidakkah Ibu rela melepas putramu untukku? Membina keluarga utuh dalam sebuah rumah mungil yang lengkap dengan anggotanya? Mengapa selalu kau semat harapan yang teramat besar untuk suamiku sehingga ia harus berbagi kasih untukmu, untuk kakak iparku?' 

"Sayang, Ibu sudah banyak berkorban untukku. Uda merasa sudah banyak membebankan Ibu dalam masalah financial usaha. Kamu tau sendiri kan, hutang-hutang usaha Uda yang gagal ini semua ditopang oleh sertifikat toko Ibu? Uda tak kuasa menolak jika Ibu menyuruh Uda untuk melakukan sesuatu untuk beliau. Uni belum menikah," suamiku menyebut panggilan untuk kakaknya yang paling besar. "Jadi Uda juga harus memberi perhatian
kepadanya agar tidak selalu dirundung sepi."


"Aku tau,Da... Aku tau. Tapi aku juga membutuhkan kamu. Aku hanya seorang wanita yang punya keterbatasan tenaga. Anak-anak juga butuh seorang figur Ayah dalam keseharian mereka. Sementara Uda hanya hadir di tengah-tengah kami dua hari dalam sepekan!"
Sekali lagi, ini tidak adil!!! 


Gambaran kekecewaan demi kekecewaan semenjak menikah silih berganti bergelayut dalam memoriku.
Benar-benar egois!! Kehamilan pertama yang berumur 8 bulan harus kunikmati dengan keberangkatan seorang diri dari Jogja menuju Padang karena kuingin kelahiran pertama dekat dengan orangtua.


"Maaf, Uda tak bisa mengantarmu. Banyak tugas kuliah yang harus Uda selesaikan dulu. Semoga perjalananmu baik-baik saja." 


Ucapanmu hanya menambah luka di hati. Adilkah ini?! Batinku menjerit. Lambaianmu di bandara semakin menusuk-nusuk batin.Perih!!!
Rabb, tidakkah dia sayang padaku sehingga tega membiarkanku sendiri dengan perut buncit menikmati penerbangan ini ?! Lagi-lagi aku menangis.


Kelahiran anak pertama kitapun tak sempat kau dampingi karena kuliah dan kerjamu yang telah mencuri waktu yang seharusnya diberikan untukku. Kehamilan pertamaku memang banyak dirundung pilu hingga membekas pada tangisan si kecil ketika lahir yang tidak nyaring, tapi terisak.
"Maafkan Umi sayang... kaupun merasakan apa yang Umi rasakan."


Aku merasa sudah terlalu banyak mengalah untuk suami. Waktu untuk kami kuikhlaskan untuk berbagai macam kesibukannya. Tapi hanya banyak kekecewaan yang kuperoleh.
Tumpukan hutang usaha suami yang gagal, keberadaannya yang hanya sesaat bersama kami, sindiran-sindiran pahit yang harus kuterima dari orang-orang yang tidak menyukai posisiku. Rasanya ketika itu aku benar-benar berada dalam lingkaran setan.

Berbagai usaha telah kulakukan untuk bertahan. Tujuh bulan suami meninggalkanku bersama dua orang anak. Syukurlah usaha Rumah Gamis dengan pemasaran online dapat menopang kebutuhan kami ketika suami tak lagi mampu nenafkahi. Suamiku pergi merantau ke tanah jawa untuk menguji peruntungan. 

"Maafkan Uda... Belum bisa mengirimkan uang. Karena disini Uda lagi berusaha mencari jalan keluar untuk masalah financial kita." hampir tiap hari, tak lelah suami menelponku. Hanya untuk menyakini bahwa keadaanku dan anak-anak baik-baik saja. Selama 7 bulan itu, silih berganti aku menerima orang-orang yang menuntut haknya. Ada yang memelas bahkan ada pula yang menghardikku sebagai istri yang tak peduli pada suami. Aku sudah kebal dengan itu semua. Meski tetesan airmata selalu luruh di pipi.


Hingga suatu saat, ketika suami pulang tanpa hasil yang diharapkan, aku memutuskan untuk tinggal bersama orangtuaku di Bukittinggi agar suami lebih leluasa menyelesaikan semua masalah financial yang melanda. Sementara aku bisa lebih fokus mendidik anak-anak tanpa bayang-bayang persoalan hidup yang bisa mempengaruhi tumbuh kembang mereka.

Hingga pertengkaran besarpun terjadi,
"Uda... Aku tak sanggup lagi. Aku akan mengajukan cerai. Hubungan kita hanya akan memicu pertengkaran demi pertengkaran. Aku sungguh tidak bisa lagi mengiringi langkahmu."


Pesan singkat ini kukirimkan ketika suamiku berada di rumah orang tuanya. Luapan emosi tak kuasa kubendung Karena aku merasa perhatian suami pada keluarga besarnya lebih mendominasi daripada untukku dan anak-anak. Aku pasrah dengan keputusan yang kubuat.


"Istikharah dulu sayang... yang pasti Uda tetap mencintaimu. Jika memang keputusan itu yang terbaik, Uda tidak bisa memaksamu bertahan. Sekali lagi Uda tetap mencintaimu."

Balasan sms dari suami berhasil mengocok-ngocok perasaanku.
Raut wajah yang diselimuti persoalan berat tak mampu kututupi hingga mengundang keingintahuan orangtua. Akupun menceritakan semua kepedihan. Tapi apa jawaban yang kuterima??
Sambil mata berkaca-kaca Papa menasehatiku, "Nak... Apapun persoalanmu jangan ada kata cerai. Apa kau tega anak-anakmu nanti memiliki bapak yang lain?Jangan sampai, Nak..."
Ku tatap Papa. Ada harapan besar disana. Nasehat beliau berhasil menjernihkan pikiran yang sedang kalut. Kucoba hadirkan kembali kenangan-kenangan manis bersama suami.

10 tahun silam.
Ikatan pernikah suci menyatukan hati kami yang sudah saling mencintai. Menyatunya dua hati benar-benar menenggelamkan kami dalam masa pacaran pasca nikah. Sungguh indah saat itu. Suamiku yang supel memberi warna baru dalam hidup. Kebiasaan asingnya membuatku merasakan hidup di dunia baru.


Dikala aku sedih, dia selalu menghiburku. Disaat aku lelah, tangan kekarnya tiada gengsi memberikan pijatan lembut pada otot-ototku. Aku sakit, dialah yang paling memperhatikanku. Tak jarang dia menyuapiku makan disertai candaan renyahnya.
Oh Tuhan, dengan semua kebaikannya apakah patut kuhapus begitu saja karena kelemahannya?

Astaghfirullahal azhiim.. Ampuni hamba Ya Rabb, tak seharusnya kupergi menjauh dikala suami butuh dukunganku.
Banyak kebaikan yang juga telah dilakukan suami untukku, tak seharusnya aku lupakan begitu saja.

Alhamdulillah, aku bersyukur karena niat berpisah berhasil kutepis.
Semua persoalan hidup ternyata hanya menuntut kecerdasan individu untuk menyikapinya.

Kini.
Aku bersyukur dengan tempaan hidup yang diberikan Allah. Itu semua untuk mendidik mentalku sebagai istri dan Ibu. 


Seharusnya aku bersyukur memiliki suami yang meski telah menikah tapi selalu berusaha berbakti pada Ibunya. Kusadar, seoarng Ibu harus tetap berada diposisi yang lebih utama daripada istri. Bukankah itu yang telah diajarkan Baginda Rasul?!


Kesempurnaan tak akan pernah didapati. Ia akan datang pada jiwa yang bersyukur dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada pasangan.
Apalagi kini suamiku semakin taat menjalin kedekatan pada Sang Pemberi Cinta. Hingga tiada alasan bagiku lagi untuk tidak menyayanginya sepenuh hati.

Suamiku, kini ku akan terus berusaha mendampingimu dalam suka dan duka. Semoga badai financial ini segera berakhir.
Aku kan selalu ingat nasehatmu,

"Sayang... kuatkan dhuhamu. Uda yakin Allah akan memberikan jalan keluar untuk semua masalah yang kita hadapi."

Suamiku...
Aku sungguh mencintaimu, kelebihanku ternyata untuk menutupi kekuranganmu. Begitupun kekuranganku akan ditutupi oleh kelebihanmu. Aku berharap bisa menjadi pendampingmu dunia dan akhirat. Aaamiiin...

------------
Bkt, 190314

Rabu, 05 Februari 2014

JODOHKU

===JODOHKU===

Oleh: Meili Damiati

"Alhamdulillah... "
Hanya kalimat itu yang bisa kuucap ketika engkau mengabarkan bahwa pernikahan kita dimajukan seminggu setelah lebaran.
Awalnya keluarga besar kita sepakat untuk menggelar akad nikah kita setelah idul adha. Tapi karena beberapa pertimbangan dari keluarga besarmu, aku dan keluargapun menerima perubahan waktu dengan suka cita.
Aku sudah kenal baik denganmu. Engkau adalah salah satu ustadz yang dulu pernah mengajarku di Pondok Pesantren tempatku menimba ilmu.
Di mataku, kau adalah orang baik dan berjiwa sosial tinggi. Aku menyukai kepribadianmu.
Karena ilmumu dalam pengobatan herbal mencukupi, maka kedekatan kita terbangun ketika aku dulu sering sakit-sakitan. Mau tidak mau interaksiku denganmu berjalan, tapi dalam koridor yang aman. Waktu itupun aku tidak ada 'rasa' kepadamu. Maaf, jika aku terlalu jujur, memang waktu itu rasanya tidak mungkin jika kita akan berjodoh. Banyak perbedaan antara kita yang bisa menjadi terpautnya dua hati dalam sebuah ikatan suci.
Hanya sebuah pengakuan dalam hati bahwa memang engkau adalah orang yang baik dan bertanggungjawab.

Engkau pasti sudah tau dari ceritaku, bahwa saat kuliah dulu, aku sempat menjalani ta'arruf beberapa bulan dengan seseorang. Kami tidak pernah bertemu muka. Hanya melalui sepucuk surat yang kami kirimkan melalui perantara. Dia seorang aktivis yang loyal dengan Islam. Karena ketika itu ia benar-benar sudah siap menikah, sementara aku harus menyelesaikan kuliah. Akhirnya proses ta'arruf kuakhiri. Meski orangnya yakin siap untuk menungguku, tapi aku tidak mau mempersempit langkahku ketika itu. Banyak pertimbangan dari orangtua yang menuntutku untuk segera menyelesaikan kuliah dulu. Apapun alasannya, proses abu-abu ini harus kuakhiri.
Kekecewaannya disampaikan padaku dalam sepucuk surat. Aku tahu, getir memang tapi bagaimanapun aku tidak boleh memaksakan diri.

Pikiranku mulai tertuju kepadamu bermula ketika Papa menanyakanmu. Ntahlah, sepertinya Papa sangat menyukai kepribadianmu. Karena memang menurutku engkau orang yang baik, akupun mulai menanyakan langsung kepadamu, apakah perhatianmu kepadaku selama ini adalah bentuk niatmu untuk menjadikanku belahan jiwamu atau tidak?
Memang waktu itu aku tak tau malu ya....Tapi jawaban pasti akan membuat langkahku tidak ragu.

Tapi ternyata engkau waktu itu sedang menjalani ta'arruf dengan seseorang.
Engkau kaget, ketika aku mengutarakan maksudku. Karena menurut keteranganmu, dulu engkau  sudah pernah bertanya padaku tentang pernikahan secara tersirat. Tapi aku menjawab akan melanjutkan S2 dulu baru menikah. Engkau merasa bahwa niatmu untuk menjadikanku tulang rusukmu yang hilang tertutup sudah oleh jawabanku. Karena memang cita-citamu ingin menikah ketika kuliah untuk menjaga dirimu dari pengaruh buruk lingkungan sekitarmu.

Ta'arrufmu dengan si wanita pun berakhir karena banyaknya ketidaksaamaan visi kalian berdua termasuk keluarga besarmu.
Saat itu aku memposisikan diri sebagai Khadijah yang berani mengungkapkan keinginan pada laki-laki yang disukai orangtuaku.
Gayung bersambut. Tapi oowwww, berhubung kita berdua dari keluarga Minang. Banyak persoalan yang kita hadapi untuk bisa menuju jenjang pernikahan.
Kakak tertuamu ketika itu belum menikah. Itu menjadi sebuah hambatan serius bagi kita.
Sebagai perempuan, memang aku yang paling getol menanyakan keseriusanmu. Karena aku benar-benar tidak suka jika niat untuk segera menikah ini digantung, untuk menunggu calon kakak iparku menikah dulu.
Sampai kapan Uda?!
Waktu itu aku hanya butuh jawaban, ya atau tidak?!

Berbagai cara engkau usahakan untuk memahamkan keluargamu agar bisa meyakini bahwa jodoh itu rahasia Allah. Aku tau, engkau sangat tidak ingin proses ini meninggalkan luka pada salah seorang keluargamu. Makanya engkau memintaku untuk bersabar agar bisa memberi pemahaman bahwa tidak akan ada aib dalam agama ketika mendahulukan pernikahan anak yang lebih dahulu menemukan jodohnya. Alhamdulillah, keluargamu menjadi lunak hatinya.
22 November 2004, pernikahan kitapun berlangsung khidmat dengan rasa syukur yang amat sangat meskipun dipihakmu hanya menggelar acara sederhana untuk menjaga perasaan kakak iparku. Ada air mata isterius yang kulihat mengalir dari mata Ibumu. Mungkin ada rasa haru disana. Ada rasa bahagia ketika engkau telah menemukan tambatan hatimu, atau mungkin juga rasa sedih ketika kau harus mendahului kakakmu.

Suamiku, proses menuju pernikahan kita memang tidak mulus.
Namun yang pasti, aku bahagia denganmu kini. Kegetolanku untuk segera menikah waktu itu, kubuktikan dengan kesetiaanku mendampingimu dalam keadaan manis pahitnya ekonomi keluarga. Meski pertengkaran antara kita tak jarang terjadi, baik pertengkaran kecil hingga pertengkaran besar. Mungkin engkau ingat ketika pintu perceraianpun sudah didepan mata. Tapi kita berdua bersyukur, kita mampu menjauhi segala campur tangan syaithan waktu itu.
Ternyata semua masalah bisa dihadapi selama masing-masing bisa menyadari bahwa tak seorangpun di dunia ini yang sempurna.
Semua orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Saling memahami adalah kunci.

Kini usia pernikahan kita baru akan memasuki tahun kesepuluh.
Alhamdulillah,3 orang putra-putri yang 'bawel' menambah banyak warna dalam keluarga.
Semoga sebagai istri dan Ibu, aku mampu membawa bahtera 'Bayti Jannati' ini berlayar utuh hingga menepi di pelabuhan "Mardhatillah" Insya Allah.
Suamiku, jangan sampai kau tutup pintu surga untukku.
Bimbing aku selalu untuk bisa menjadi pendamping hidupmu, dunia dan akhirat, aamiiiin

Jumat, 24 Januari 2014

CERMIN; PASUKAN BERJAKET

=======PASUKAN BERJAKET============
 oleh: Meili Damiati,S.S


Pagi ini, langit cerah secerah hati prajurit-prajurit cilikku. Maklum sebentar lagi kami akan melaju bersama Sang Pahlawan motor Beat Hitam kesayangan. Meski cicilannya belum kelar, semangat tak akan pernah surut hingga BPKB berpindah ke dalam laci lemariku, ha..ha... 

Ngalau Indah-Payakumbuh. Itulah tujuan kami. Sebuah goa yang memiliki banyak cerita dan pemandangan alam yang sangat memukau.
18 tahun yang lalu, waktu acara jalan-jalan bersama guru kelas VI SD adalah kunjungan terakhirku kesana.
Perjalanan pelan akan menghabiskan waktu hampir 1 jam dari kota Bukittinggi.


Kututup rolling door toko kecil Bayti Jannati yang merupakan salah satu lumbung padi keluarga kami.
"Ayo anak-anak, semua sudah siap?" tanyaku.

"Siap komandan!" jawab prajurit-prajurit cilikku.

"Waduh, berlima diatas motor untuk perjalanan jauh ini rasanya terlalu beresiko," ungkap Kakek khawatir.

"Oh.. tidak mengapa Kek, doakan saja kami selamat hingga pulang nanti ya," ujarku meyakinkan Papa.

Sementara itu, Ayah panggilan akrab suami dalam KBB* kami, sudah terlihat gagah di atas tunggangannya. Ali-si buyung langsung mengambil tempat di depan Ayah. Disusul Shabira-si sulung mengambil posisi berdempetan dengan punggung Ayah, kemudian si bungsu Zahra.
Terakhir, aku bersiap menerima takdirku menjadi sandaran mereka yang harus selalu siaga memantau barisan dan keamanan dari belakang.


Waw!! kami akan menjadi pemandangan 'aneh' orang-orang di jalan raya nanti.
Pasukan berjaket diatas tunggangan roda dua.
Sempit, tapi hangat!

_______________________
* Keluarga Besar Berencana

CERMIN; KARENA AKU SUKA PANGGILAN ITU

===KARENA AKU SUKA PANGGILAN ITU===

oleh: Meili Damiati (Bayti Jannati)



"Yah, tolong dong jangan panggil 'adek' ke wanita lain."

"Lha, kan biasa saja, Umi.."

"Bagi Ayah biasa tapi bagi Umi, engga."

"Kalau di Jawa panggilan adek ke yang lebih kecil itu biasa saja kok," jelas suamiku yang berjiwa Jawa meskipun Minang tulen.

"Iya Ayah.. tapi kan sekarang kita di Minang bukan di Jawa. Panggil 'adiak' ga pa pa asal jangan adek ya.. karena Umi juga mau dipanggil adek," rajukku.

"Hmm.. Umi kan sudah ada panggilan khusus, 'cin'."

"apaan 'cin'?emang cincin"

"kalau 'say' gimana?"

"emang sayur.."

" 'yang' deh ya..."

"engga... ketuaan. ntar dikira Eyang, ha..ha..."

"ya sudaaah. Adeek, kita masak yuuuk." ajak suamiku

Ah, leganya diriku. Akhirnya kuraih kembali panggilan manja itu.
Yesss!!!


-------------
Bkt,240114

PUISI; JANGAN TUTUP SURGAKU

Pertengkaran kecil terjadi. Sang suami berangkat kerja ke kota Padang tanpa sempat diantar istri ke depan pagar.
Si istripun menyesal dengan sikapnya yang tidak wajar, lalu ia kirimkanlah puisi ini kepada sang suami yang telah berada jauh dari dirinya. Puisi ini datang tatkala suami juga termenung memikirkan sikap istri yang sangat ia sayang.

Untuk Suamiku.

====JANGAN TUTUP SURGAKU==== 
oleh: Meili Damiati,S.S

Duniaku kini tak lagi nyata, Tuan
tertutup kabut pekat yang melanda
Hatiku kini tak dapat lagi kau raba, Tuan
terhalang tingginya tembok baja


Mengapa kau tega, Tuan
menggoreskan luka dalam jiwa
membuat aku tenggelam dalam alpa
dan tak lagi peduli dengan dosa

Maafkan aku belum dapat berkata
hanya raut muka yang bisa bercerita
bukan karena aku tak suka
Tapi luka ini, belum juga ada penawarnya

Lupakah engkau Tuan
hatiku tak ubahnya ibarat kaca
mudah retak dan ternoda
maka sentuhlah ia dengan cinta

Kini aku menangis, Tuan
tertatih mendaki tembok baja yang menyiksa
merobohkan benteng dosa yang meninggalkan lara
masih adakah kesempatanku mendapatkan surga?

Dan akupun terpekur, Tuan
pintunya tak dapat lagi kubuka tanpa ridha
Maafkan aku karena alpa
Semua itu hanya tuk penawar luka
---------------
Bkt, 150114

PARENTING ALA ALI BIN ABI THALIB

Alhamdulillah saya dapat artikel hebat ini. Maaf, bagi yang tau siapa penulis sesungguhnya, mohon info agar bisa dicantumkan. Sengaja saya copas dengan sedikit editing lay out agar nyaman dibaca, untuk saya sebar kepada Ibu-ibu hebat yang ingin mendidik-permata hatinya dengan didikan yang sudah dicontohkan para sahabat.(Meili Damiati)


Untuk para calon pencetak generasi penerus Rabbani..
Parenting Ala Ali Bin Abi Thalib
"Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, Karena mereka hidup bukan di zamanmu"
itulah quote tekenal dari Ali Bin Abi Thalib RA, khalifah ke-4 umat islam yang terkenal dengan kepintaran, kejujuran dan juga kesetiaannya terhadap Rasulullah SAW.

Seperti sudah kita pahami bahwasannya mendidik  dan membesarkan anak adalah amanah dari Allah SWT yang harus dijalankan dengan sebaikbaiknya. Banyak hal yang harus diperhatikan untuk menentukan pola pendidikan yang terbaik bagi masing-masing anak, apalagi mereka tidak hidup di jaman dahulu.

Menurut Ali bin Abi Thalib Ra. ada tiga pengelompokkan dalam cara memperlakukan anak:
1. Kelompok 7 tahun pertama (usia 0-7 tahun), perlakukan anak sebagai raja.
2. Kelompok 7 tahun kedua (usia 8-14 tahun), perlakukan anak sebagai tawanan.
3. Kelompok 7 tahun ketiga (usia 15-21 tahun), perlakukan anak sebagai sahabat.

ANAK SEBAGAI RAJA (Usia 0-7 tahun)
Melayani anak dibawah usia 7 tahun dengan sepenuh hati dan tulus adalah hal terbaik yang dapat kita lakukan. Banyak hal kecil yang setiap hari kita lakukan ternyata akan berdampak sangat baik bagi perkembangan prilakunya, misalnya :
>> Bila kita langsung menjawab dan menghampirinya saat ia memanggil kita- bahkan ketika kita sedang sibuk dengan pekerjaan kita -maka ia akan langsung menjawab dan menghampiri kita ketika kita memanggilnya.

>>Saat kita tanpa bosan mengusap punggungnya hingga ia tidur, maka kelak kita akan terharu ketika ia memijat atau membelai pngung kita saat kita kelelahan atau sakit.

>> Saat kita berusaha keras menahan emosi disaat ia melakukan kesalahan sebesar apapun, lihatlah dikemudian hari ia akan mampu menahan emosinya ketika adik/ temannya melakukan kesalahan padanya.

Maka ketika kita selalu berusaha sekuat tenaga untuk melayani dan menyenangkan hati anak yang belum berusia tujuh tahun, insya Allah ia akan tumbuh menjadi pribadi yang menyenangkan, perhatian dan bertanggung jawab.
Karena jika kita mencintai dan memperlakukannya sebagai raja, maka ia juga akan mencintai dan memperlakukan kita sebagai raja dan ratunya.

ANAK SEBAGAI TAWANAN (usia 8-14 tahun)
Kedudukan seorang tawanan perang dalam islam sangatlah terhormat, Ia mendapatkan haknya secara proporsional, namun juga dikenakan berbagai larangan dan kewajiban.
Usia 7-14 tahun adalah usia yang tepat bagi seorang anak bagi seorang anak untuk diberikan hak dan kewajiban tertentu.
Rasulullah SAW mulai memerintahkan seorang anak untuk sholat wajib pada usia 7 tahun, dan memperbolehkan kita memukul anak tersebut (atau mengukum dengan hukuman seperlunya) ketika ia telah berusia 10 tahun namun meninggalkan sholat.
Karena itu usia 7-14 tahun adalah saat yang tepat dan pas bagi anak-anak kita untuk diperkenalkan dan diajarkan tentang hal-hal yang terkait dengan hukum-hukum agama, baik yang diwajibkan maupun yang dilarang, seperti:
>> Melakukan sholat wajib 5 waktu
>> Memakai pakaian yang bersih, rapih dan menutup aurat
>> Menjaga pergaulan dengan lawan jenis
>> Membiasakan membaca Al-Qur'an
>> Membantu pekerjaan rumah tanngga yang mudah dikerjakan oleh anak seusianya
>> Menerapkan kedisiplinan dalam kegiatan sehari-hari

Reward dan punishment (hadiah/penghargaan/pujian dan hukuman/teguran) akan sangat pas diberlakukan pada usia 7 tahun kedua ini, karena anak sudah bisa memahami arti dari tanggung jawab dan konsekuaensi.

Namun demikian, perlakuan pada setiap anak tidak harus sama kerena every child is unique (setap anak itu unik)

ANAK SEBAGAI SAHABAT (usia 15-21 tahun)
Usia 15 tahun adalah usia umum saat anak menginjak akil baligh. Sebagai orang tua kita sebaiknya memposisikan diri sebagai sahabat dan memberi contoh atau teladan yang baik seperti yang diajarkan oleh Ali bin Abi Thalib Ra.
>> Berbicara dari hati ke hati Inilah saat yang tepat untuk berbicara dari hati kehati dengannya, menelaskan bahwa ia sudah remaja dan beranjak dewasa. Perlu dikomunikasikan bahwa selain mengalami perubahan fisik, Ia juga akan mengalami perubahan secara mental, spiritual, sosial, budaya dan lingkungan, sehingga sangat mungkin akan ada masalah yang harus dihadapinya. Paling penting bagi kita para orang tua adalah kita harus dapat membangun kesadaran pada anak-anak kita bahwa pada usia setelah akil baliqh ini, ia sudah memiliki buku amalannya sendiri yang kelak akan ditayangkan dan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah SWT.

>> Memberi Ruang Lebih Setelah measuki usia akil Baliqh, anak perlu memiliki ruang agar tidak merasa terkekang,namun tetap dalam pengawasan kita. Controlling tetap harus dilakukan tanpa bersikap otoriter dan tentu saja diiringi dengan berdo'a untuk kebaikan dan keselamatannya.

Dengan demikian anak akan merasa penting, dihormati, dicintai, dihargai dan disayangi. Selanjutnya, Ia akan merasa percaya diri dan mempunyai kepribadian yang kuat untuk selalu cenderung pada kebaikan dan menjauhi perilaku buruk.

>> Mempercayakan tanggung jawab yang lebih berat. Waktu usia 15- 21 tahun ini penting bagi kita untuk memberinya tanggung jawab yang lebih berat dan lebih besar, dengan begini kelak anak-anak kita dapat menjadi pribadi yang cekatan, mandiri, bertanggung jawab dan dapat diandalkan. Contoh pemberian tanggung jawab pada usia ini adalah seperti memintanya membimbing adik-adiknya, mengerjakan beberapa pekejaan yang biasa dikerjakan oleh orang dewasa, atau mengatur jadwal kegiatan dan mengelola kuangannya sendiri

>> Membekali anak dengan keahlian hidup. Rasulullah SAW bersabda, "Ajarilah anak-anak kalian berkuda, berenang dan memanah" (Riwayat sahih Ima Bukhari dan Imam Muslm) Secara harfiah, olah raga berkuda, berenang dan memanah adalah olah raga yang sangat baik untuk kebugaran tubuh. Sebagian menafsirkan bahwa berkuda dapat pula diartikan mampu mengendarai kendaraan (baik kendaraan darat, laut, udara).
Berenang dapat disamakan dengan ketahanan dan kemampuan fisik yang diperlukan agar menjadi muslim yang kuat.

Sedangkan memanah dapat pula diartikan sebagai melatih konsentrasi dan fokus pada tujuan.
Di era modern, sebagian pakar memperluas tafsiran hadist diatas sebagai berikut :
>Berkuda = Skill of Life, memberi keterampilan atau keahlian sebagai bekal hidup agar memiliki rasa percaya diri, jiwa kepemimpinan dan pengendalian diri yang baik.

> Berenang = Survival of Live , mendidik anak agar selalu bersmangat, tidak mudah menyerah dan tegar dalam menghadapi masalah. > Memanah = Thingking of Life, mengajarkan anak untuk membangun kemandirian berpikir, merencanakan masa depan dan menentukan target hidupnya.

Semoga saja kita para orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya dapat memberikan perlakuan yang tepat pada anak-anak, siapapun mereka, dari manapun mereka berasal, dan dimanapun mereka berada, karena anak-anak adalah tanggung jawab orang dewasa di sekitarnya

COPAS dari beberapa sumber

Moga bermanfaat
-Bayti Jannati-