===Pelangi Rumah Tangga===
Oleh: Meili Damiati
Dua tahun silam.
Air mata tak lagi rintik di kedua pipiku, tapi lebat mengguyur wajah
sendu, tak lagi mampu menahan isak tangis yang sudah berusaha kutahan.
Ini tidak adil!!
Sejak menikah, diriku hanyut dalam rutinitas rumah tangga. Berusaha
ikhlas melepas keinginan berkarir. Untuk anak-anak kita. Mendampingi
mereka 24 jam meski lelahku tak lagi punya nama. Sementara kau???
Hari-harimu banyak habis dengan berbagai kegiatan luar. Aku tau, kau melanglang buana untuk dapat menghidupi kami.
Tapi kenapa??? Hanya sedikit hari yang bisa kau sisihkan untuk kita bersama??
Impian membina keluarga bahagia yang setiap hari selalu bisa berkumpul,
hingga kini hanya menjadi angan-anganku saja.Oh Tuhan, betapa ingin,
jika suamiku ada bersama kami selalu.
Tapi....
Bibirku bergetar, dadaku sesak. Luapan lahar dingin dari kedua mata tak henti meleleh.
Pikiran melayang pada sosok Ibu Mertuaku. Seorang perempuan gigih yang
amat menyayangi putra satu-satunya. Ada rasa penyesalan yang timbul di
hati. 'Ibu, tidakkah Ibu rela melepas putramu untukku? Membina keluarga
utuh dalam sebuah rumah mungil yang lengkap dengan anggotanya? Mengapa
selalu kau semat harapan yang teramat besar untuk suamiku sehingga ia
harus berbagi kasih untukmu, untuk kakak iparku?'
"Sayang, Ibu
sudah banyak berkorban untukku. Uda merasa sudah banyak membebankan Ibu
dalam masalah financial usaha. Kamu tau sendiri kan, hutang-hutang usaha
Uda yang gagal ini semua ditopang oleh sertifikat toko Ibu? Uda tak
kuasa menolak jika Ibu menyuruh Uda untuk melakukan sesuatu untuk
beliau. Uni belum menikah," suamiku menyebut panggilan untuk kakaknya
yang paling besar. "Jadi Uda juga harus memberi perhatian
kepadanya agar tidak selalu dirundung sepi."
"Aku tau,Da... Aku tau. Tapi aku juga membutuhkan kamu. Aku hanya
seorang wanita yang punya keterbatasan tenaga. Anak-anak juga butuh
seorang figur Ayah dalam keseharian mereka. Sementara Uda hanya hadir di
tengah-tengah kami dua hari dalam sepekan!"
Sekali lagi, ini tidak adil!!!
Gambaran kekecewaan demi kekecewaan semenjak menikah silih berganti bergelayut dalam memoriku.
Benar-benar egois!! Kehamilan pertama yang berumur 8 bulan harus
kunikmati dengan keberangkatan seorang diri dari Jogja menuju Padang
karena kuingin kelahiran pertama dekat dengan orangtua.
"Maaf, Uda tak bisa mengantarmu. Banyak tugas kuliah yang harus Uda selesaikan dulu. Semoga perjalananmu baik-baik saja."
Ucapanmu hanya menambah luka di hati. Adilkah ini?! Batinku menjerit.
Lambaianmu di bandara semakin menusuk-nusuk batin.Perih!!!
Rabb,
tidakkah dia sayang padaku sehingga tega membiarkanku sendiri dengan
perut buncit menikmati penerbangan ini ?! Lagi-lagi aku menangis.
Kelahiran anak pertama kitapun tak sempat kau dampingi karena kuliah dan
kerjamu yang telah mencuri waktu yang seharusnya diberikan untukku.
Kehamilan pertamaku memang banyak dirundung pilu hingga membekas pada
tangisan si kecil ketika lahir yang tidak nyaring, tapi terisak.
"Maafkan Umi sayang... kaupun merasakan apa yang Umi rasakan."
Aku merasa sudah terlalu banyak mengalah untuk suami. Waktu untuk kami
kuikhlaskan untuk berbagai macam kesibukannya. Tapi hanya banyak
kekecewaan yang kuperoleh.
Tumpukan hutang usaha suami yang gagal,
keberadaannya yang hanya sesaat bersama kami, sindiran-sindiran pahit
yang harus kuterima dari orang-orang yang tidak menyukai posisiku.
Rasanya ketika itu aku benar-benar berada dalam lingkaran setan.
Berbagai usaha telah kulakukan untuk bertahan. Tujuh bulan suami
meninggalkanku bersama dua orang anak. Syukurlah usaha Rumah Gamis
dengan pemasaran online dapat menopang kebutuhan kami ketika suami tak
lagi mampu nenafkahi. Suamiku pergi merantau ke tanah jawa untuk menguji
peruntungan.
"Maafkan Uda... Belum bisa mengirimkan uang. Karena
disini Uda lagi berusaha mencari jalan keluar untuk masalah financial
kita." hampir tiap hari, tak lelah suami menelponku. Hanya untuk
menyakini bahwa keadaanku dan anak-anak baik-baik saja. Selama 7 bulan
itu, silih berganti aku menerima orang-orang yang menuntut haknya. Ada
yang memelas bahkan ada pula yang menghardikku sebagai istri yang tak
peduli pada suami. Aku sudah kebal dengan itu semua. Meski tetesan
airmata selalu luruh di pipi.
Hingga suatu saat, ketika suami
pulang tanpa hasil yang diharapkan, aku memutuskan untuk tinggal bersama
orangtuaku di Bukittinggi agar suami lebih leluasa menyelesaikan semua
masalah financial yang melanda. Sementara aku bisa lebih fokus mendidik
anak-anak tanpa bayang-bayang persoalan hidup yang bisa mempengaruhi
tumbuh kembang mereka.
Hingga pertengkaran besarpun terjadi,
"Uda... Aku tak sanggup lagi. Aku akan mengajukan cerai. Hubungan kita
hanya akan memicu pertengkaran demi pertengkaran. Aku sungguh tidak bisa
lagi mengiringi langkahmu."
Pesan singkat ini kukirimkan ketika
suamiku berada di rumah orang tuanya. Luapan emosi tak kuasa kubendung
Karena aku merasa perhatian suami pada keluarga besarnya lebih
mendominasi daripada untukku dan anak-anak. Aku pasrah dengan keputusan
yang kubuat.
"Istikharah dulu sayang... yang pasti Uda tetap
mencintaimu. Jika memang keputusan itu yang terbaik, Uda tidak bisa
memaksamu bertahan. Sekali lagi Uda tetap mencintaimu."
Balasan sms dari suami berhasil mengocok-ngocok perasaanku.
Raut wajah yang diselimuti persoalan berat tak mampu kututupi hingga
mengundang keingintahuan orangtua. Akupun menceritakan semua kepedihan.
Tapi apa jawaban yang kuterima??
Sambil mata berkaca-kaca Papa
menasehatiku, "Nak... Apapun persoalanmu jangan ada kata cerai. Apa kau
tega anak-anakmu nanti memiliki bapak yang lain?Jangan sampai, Nak..."
Ku tatap Papa. Ada harapan besar disana. Nasehat beliau berhasil
menjernihkan pikiran yang sedang kalut. Kucoba hadirkan kembali
kenangan-kenangan manis bersama suami.
10 tahun silam.
Ikatan
pernikah suci menyatukan hati kami yang sudah saling mencintai.
Menyatunya dua hati benar-benar menenggelamkan kami dalam masa pacaran
pasca nikah. Sungguh indah saat itu. Suamiku yang supel memberi warna
baru dalam hidup. Kebiasaan asingnya membuatku merasakan hidup di dunia
baru.
Dikala aku sedih, dia selalu menghiburku. Disaat aku lelah,
tangan kekarnya tiada gengsi memberikan pijatan lembut pada
otot-ototku. Aku sakit, dialah yang paling memperhatikanku. Tak jarang
dia menyuapiku makan disertai candaan renyahnya.
Oh Tuhan, dengan semua kebaikannya apakah patut kuhapus begitu saja karena kelemahannya?
Astaghfirullahal azhiim.. Ampuni hamba Ya Rabb, tak seharusnya kupergi menjauh dikala suami butuh dukunganku.
Banyak kebaikan yang juga telah dilakukan suami untukku, tak seharusnya aku lupakan begitu saja.
Alhamdulillah, aku bersyukur karena niat berpisah berhasil kutepis.
Semua persoalan hidup ternyata hanya menuntut kecerdasan individu untuk menyikapinya.
Kini.
Aku bersyukur dengan tempaan hidup yang diberikan Allah. Itu semua untuk mendidik mentalku sebagai istri dan Ibu.
Seharusnya aku bersyukur memiliki suami yang meski telah menikah tapi
selalu berusaha berbakti pada Ibunya. Kusadar, seoarng Ibu harus tetap
berada diposisi yang lebih utama daripada istri. Bukankah itu yang telah
diajarkan Baginda Rasul?!
Kesempurnaan tak akan pernah didapati.
Ia akan datang pada jiwa yang bersyukur dengan segala kelebihan dan
kekurangan yang ada pada pasangan.
Apalagi kini suamiku semakin
taat menjalin kedekatan pada Sang Pemberi Cinta. Hingga tiada alasan
bagiku lagi untuk tidak menyayanginya sepenuh hati.
Suamiku, kini ku akan terus berusaha mendampingimu dalam suka dan duka. Semoga badai financial ini segera berakhir.
Aku kan selalu ingat nasehatmu,
"Sayang... kuatkan dhuhamu. Uda yakin Allah akan memberikan jalan keluar untuk semua masalah yang kita hadapi."
Suamiku...
Aku sungguh mencintaimu, kelebihanku ternyata untuk menutupi
kekuranganmu. Begitupun kekuranganku akan ditutupi oleh kelebihanmu. Aku
berharap bisa menjadi pendampingmu dunia dan akhirat. Aaamiiin...
------------
Bkt, 190314
Tidak ada komentar:
Posting Komentar